Kamis, 14 Agustus 2014

SISTEM PERALATAN DAN PERLENGKAPAN HIDUP BERBAGAI SUKU DI INDONESIA

SISTEM PERALATAN DAN PERLENGKAPAN HIDUP
BERBAGAI SUKU  DI INDONESIA 

A. Peralatan dan Perlengkapan Dapur                                                                                                       1. Suku Batak                                                                                                                                            a. Panutuan dan Tutu                                                                                                                                  Panutuan dan Tutu adalah alat untuk menggiling bumbu dapur. Panutuan dan Tutu terbuat dari batu atau kayu. Panutuan adalah wadah tempat bumbu akan digiling, sedangkan Tutu adalah batu atau kayu penggiling bumbu itu. Tutu ini dinamai juga Papene.                                                                    b. Papene 
Papene adalah Sapa kecil tanpa kaki. Besarnya sekitar ± 30-40 cm. Biasanya Papene ini digunakan pada kesempatan sehari-hari. 
c.Hansung atau Hiong
 adalah bejana untuk mengambil air dari sumber air (sumur, pancuran atau sungai) dan sekaligus tempat penyimpanannya. Hansung atau Hiong adalah tabung besar yang terbuat dari bambu besar dengan ruas buku yang panjang.Kadang-kadang kulit luarnya dibuang, tetapi kadang-kadang tidak.Kulit yang tidak dibuang sering dihiasi dengan tulisan atau ukiran mitis.Selain untuk menampung dan menyimpan air, Hansung atau Hiong digunakan juga untuk menampung air aren yang dikenal dengan tuak.
d. Ompon 
ialah sejenis karung berbentuk silinder. Ompon terbuat dari kulit kayu atau dari diayam dari Baion atau pandan.Besarnya dan volumenya tidak tentu.Ada ompon yang bisa menampung padi sebanyak 20-30 porsanan atau panuhukan.Porsanan atau Panuhukan adalah ukuran umum sebanyak orang bisa memikul. “porsan” atau “tuhuk” berarti pikul.
e. Hudon Tano atau Susuban Tano 
adalah bejana yang terbuat dari tanah liat. Pada zaman dahulu bejana ini dipakai serba guna, misalnya: tempat penyimpanan air, tempat memasak makanan dan air minum.
f. Hobon atau Tambarang
mengacu pada barang yang sama, yakni sejenis tong yang terbuat dari kulit kayu yang amat besar. Hobon atau Tambarang ini dipakai untuk tempat menyimpan padi. Bila Hobon atau Tambarang ini berdiri akan tampak seperti drum yang besar.
g. Sapa Bolonialah piring 
yang terbuat dari kayu. Biasanya sapa itu berdiameter ± 30-40 cm; tinggi ± 20-30 cm. Biasanya piring ini digunakan ketika satu keluarga makan hasil panen pertama atau makan Dengke na hinongkoman (ikan pelindung) untuk menolak penyakit menular. Nama ikan itu adalah Porapora.Jumlah ikan itu mesti sebanyak jumlah anggota keluarga yang makan, yang ditaruh pada sapa. 
h. Poting atau gunci 
terbuat dari tanah liat dan tutupnya terbuar dari kayu. Barang ini dipakai sebagai tempat tuak.  
i. Losung adalah lumpang, 
yakni perkakas untuk menumbuk padi untuk memperoleh beras. Losung dapat terbuat dari batu atau kayu.Biasanya bentuknya seperti bidang trapesium yang terbalik.Pada permukaan atas terdapat lubang besar ke dalamnya dimasukkan barang yang hendak ditumbuk.Ada dua ukuran lumpang, besar dan kecil.Lumpang besar digunakan untuk menumbuk padi, sedangkan yang kecil dipakai untuk menumbuk padi dalam jumlah sedikit atau pun untuk menggiling bumbu.Andalu adalah alat pasangan untuk menumbuk padi pada lumpang itu.Andalu adalah tongkat kayu sebesar genggaman tangan dengan panjang ± 150-200 cm. Dengan pergesekan Andalu dan padi, kulit padi menjadi terkelupas dan menghasilkan beras.
j. Geanggeang
termasuk perkakas dapur tempat penyimpanan lauk yang sudah dimasak. Bentuknya seperti keranjang yang dianyam dari rotan besar.Geanggeang ini tergantung setinggi ibu rumah tangga pemilik Jabu Bona pada Ruma Batak.Perkakas itu terikat pada atap rumah.Disebut Geanggeang karena perkakas ini tergantung dan mudah bergoyang.Di tempat inilah disimpan lauk yang sudah dimasak sehingga tidak mudah digapai anak-anak, kucing atau tikus.
k. Ampang
adalah sejenis bakul yang terbuat dari anyaman rotan yang dibelah dan dihaluskan. Bagian bibir Ampang berbentuk bundar yang dibuat dari rotan bulat.Tetapi bagian dasar mendapat bentuk bidang bujursangkar.Ampang ini diperkuat oleh empat rangka dari sudut bujursangkar pada bagian dasar yang menopang bibir Ampang yang berbentuk bundar.Ampang digunakan sebagai alat pengukur isi untuk padi. 
l.Parutan.
Parutan yang terbuat dari kayu dan sebatang besi.Fungsinya ialah untuk memarut kelapa. m. Keranjang.terbuat dari rotan. Fungsinya antara lain sebagai tempat pakaian 

2. Flores Desa Bamo Kec.Kota Komba-Flores Kabupaten Manggarai Timur. Wolomboro adalah Nama dari sebuah kampung yang ada di Desa Bamo-Kec.Kota Komba-Flores Barat Kabupaten Manggarai Timur-Indonesia. Dari semua jenis perlengkapan dapur dibuatnya .Membuatnya pun sangat Traditional yaitu menggunakan batu sebagai palu, air dan daun pisang sebagai pembungkus tanah beralaskan selembar papan sebagai dasar penyimpan tanah yang mau di peram. Proses pembuatan sebuah periuk yang bagus membutuhkan waktu dua bulan. Awal dari prosesnya sebagai berikut; Tanah di Gali dengan memakai linggis yang terbuat dari kayu, dan di bungkus dengan daun pisang, lalu di peram selama dua minggu. Dalam proses pemeraman tanah ini harus di siram setiap pagi sore. Tanah ini di giling memakai kaki atau tangan dan di peram lagi selama dua malam lalu proses pembuatan periuk,mangkok,senduk,gelas dll. Setelah membentuk sebuah periuk dibilas lagi memakai air dan secabik kain untuk memperhalus bentuk dari sebuah periuk dan di jemur satu atau dua minggu lamanya di Matahari. Dalam proses penjemuran juga harus di jaga jangan sampai ada yang retak atau goresan dari binatang peliharaan. Jika ada yang retak atau ada goresan harus cepat-cepat di bilasnya dengan secabik kain basah jika masih mungkin untuk dibilas,sebab kalau tanahnya sudah mengering sedikit susah untuk membilasnya. Setelah benar-benar kering lalu dibakar dengan memakai bambu kering atau pelepah kelapa kering sampai benar-benar mengeluarkan warna merah dan mengeluarkan bunyi yang nyaring jika menyentuhnya dengan jari tangan kita. Adapun larangan-larangan pada saat mengambil Tanah ini yaitu; Menggalinnya tidak boleh memakai alat jenis besi, Pada saat menggali tidak boleh mengeluarkan angin melalui anus (Kentut), tidak boleh batuk, dan tidak bole berbicara kotor jika ada teman di samping kita dan membawahnya pun harus memakai bakul atau keranjang dari jenis daun-daunan. Mengapa peraturan ini dibuat supaya pada proses pembuatannya nanti tidak ada yang retak atau pecah. Kalau ada yang tidak mengikuti peraturan diatas maka sia-sialah dalam pembuatannya akan pecah atau tidak jadi sama sekali. Nilai penjualan dari sebuah periuk tanah ini tidak sebanding dengan tenaga atau waktu dari sipembuat.Per buah kira-kira mencapai 5000 rupiah tergantung jenis dan ukurannya.Adapun keuntungan jika kita memasak dari periuk tanah ini yaitu; Jika menanak nasi menimbulkan rasa gurih atau mengeluarkan bau harum yang sangat natural dari jenis beras atau jagung tersebut dan tidak menimbulkan hangus atau berbentuk kerak.Begitupun jika memasak sayur.Masih banyak Masyarakat di kampung yang sampai saat ini menggunakan Alat Traditional diatas.Jika ada orang yang menarik dengan pembuatan periuk dari Tanah Merah yang seperti di atas, bisa saja langsung mengunjungi kampung tersebut dan yang menarik dengan Traditional Dancing harus menunggu waktu acara dibuatnya.
3. Bugis-Makassar 
Jika Anda melihat rumah tradisional orang Bugis-Makassar, pasti mudah bagi Anda untuk mengenali bentuk rumahnya.Ciri utama rumah Bugis-Makassar adalah bentuk rumah tiang atau rumah panggung.Rumah panggung masyarakat Bugis Makassar dapat ditelusuri pembagian ruang-ruangnya, yang terbagi dalam tiga tingkatan ruang, yakni ruang atas, ruang tengah dan ruang bawah. Eksistensi Dapur Istilah dapur (tradisioal) disini mencakup pengertian dapur sebagai ruang /bangunan, tempat menyimpan peralatan masak dan tempat berlangsungnya kegiatan makan minum. Eksistensi dapur ini timbul bersamaan dengan diketemukannya apioleh manusia.Dapur bagi orang Bugis-Makassar sangat dekat dengan proses dan eksistensi keluarga. Keluarga yang masih “hidup” dapat ditengarai dengan dapur yang masih berasap.Sebaliknya sebuah dapur yang sudah tidak berasap lagi menandakan bahwa keluarga pemilik dapur sudah mati. Dapur tradisional Bugis-Makasar pada umumnya berbentuk segi empat, mengikuti filsafat orang Sulawesi Selatan yang disebut “Sulapa Eppa” yang artinya “Yang dianggap paling sempurna adalah yang bersegi empat”. Bentuk formasi bangunan untuk perletakan tungku ada yang terbuat dari kayu dan ada pula yang diletakkan di atas lantai rumah secara berdampingan.Bangunan dapur tradisional Bugis-Makasar ada yang bertingkat dua.Lantai atas digunakan untuk tempat menyimpan dan mengeringkan kayu bakar atau menyimpan peralatan dapur.Lantai bawah digunakan untuk memasak.Tungku masak yang digunakan kebanyakan masih menggunakan tiga batu yang diatur di atas lantai yang sudah diberi pasir atau tanah.Dalam satu dapur bisa berderet dua sampai tiga buah tungku.Bila masih memerlukan tungku lagi, dibuatlah tungku yang terpisah dengan dapur yang disebut dapo (Bugis) atau palu (Makasar) yang mudah dipindah-pindahkan. Di beberapa daerah di Sulawesi bagian Selatan, palu yang mempunyai bentuk seperti perahu dengan tiga tatakan sangat dominan dipakai. Sedangkan untuk wilayah utara cukup bervariasi, diantaranya: formasi tiga batu, bentuk silinder, dua besi panjang sejajar, dan lain sebagainya.Dalam perkembangan selanjutnya, dapur tersebut bergeser ke ruang belakang dan dibuatkan bangunan tambahan khusus di bagian belakang atau bagian sebelah kiri bangunan induk.Bangunan khusus untuk dapur ini disebut Jongke atau Bola dapureng.Jongke ini merupakan tempat pelaksanaan kegiatan penyediaan makanan dan minuman keluarga atau tamu, serta tempat untuk menyimpan makanan dan peralatan masak. Dapur orang Bugis-Makasar sesuai dengan pengetahuan lokal para nenek moyang mereka] diusahakan menghadap Utara atau Selatan. Jika dapur menghadap utara maka orang yang memasak akan menghadap ke Selatan, begitu pula sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari asap dapur yang sangat dipengaruhi oleh angin musim yang bertiup dari arah barat atau timur. Hal ini masih dipengaruhi lagi oleh letak dan posisi dapur terhadap keadaan lingkungan sekitarnya, seperti daerah perbukitan/ pegunungan. Hal lain yang kurang diperhatikan adalah sistem ventilasi dapur, sehingga kondisi udara di dapur tidak sehat. Pada umumnya peralatan dapur tradisional orang Bugis-Makasar dapat diklasifikasikan menurut jenis material peralatan tersebut : a. Terbuat dari tanah liat: dapo/pallu (anglo), Oring tana/Uring buta (periuk), bempa/gumbang (tempayan), dll. b. Terbuat dari logam yaitu: oring beddi/uring bassi (periuk), panci, ceret, pammutu bessi/pamja besi (wajan) piso/ lading (pisau), bangkung/ berang parang), baki. c. Terbuat dari bambu: pabberang api (peniup api), paccipi (penjepit), pattapi (niru), rakki (tempat mengeringkan bahan makanan), jamba (tempat nasi dari anyaman bambu). d. Terbuat dari kayu: dulang (tempat nasi), piring kayu e. Terbuat dari tempurung kelapa: kaddaro innungeng/inungang (gelas tempurung), sinru kaddaro/si’ru kaddaro (sendok tempurung), piring kaddaro. f. Terbuat dari anyaman: assokkoreng (kukusan), baku-baku (bakul nasi), appanatireng santang (tapisan santan), paberesse/pa’berassang (tempat beras) g. Terbuat dari batu: pakungeng batu (lesu batu), accobereng/accebekang (cobek) Fungsi Dapur Fungsi dapur juga mengalami perkembangan mengikuti budaya dan masyarakat. Fungsi dapur sekarang dapat disebutkan sebagai berikut : a. Tempat untuk kegiatan penyediaan dan pengolahan makanan dan minuman untuk keluarga dan tamu. Di sini perempuan memegang otoritas penuh atas ruang dan waktu. b. Tempat menyimpan peralatan dan persediaan makanan dan minuman. c. Tempat cuci dan pembuangan d. Tempat untuk sosialisasi awal bagi anak perempuan memasuki dunia perempuan serta mempererat hubungan kekerabatan dengan anggota keluarga lain atau tetangga e. Tempat usaha: membuat kue, makanan dan minnuman. Pandangan Terhadap Dapur Sejalan dengan fungsi-fungsi dapur tersebut, tumbuh nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat setempat. Misalnya, untuk menerima tamu (bukan famili), tidak melewati batas ruang tamu, apalagi masuk ruang dapur.Karena dapur merupakan rahasia keluarga/kehidupan rumah tangga, sehingga ruang dapur dibatasi hanya untuk kerabat dekat saja.Pemanfaatan dapur sebagai salah satu bagian rumah juga membawa nilai-nilai atau norma-norma yang harus ditaati.Oleh karena itu ada beberapa perilaku yang tidak boleh dilanggar karena dapat membawa bencana bagi siapa saja yang melanggarnya.Beberapa pantangan tersebut adalah: a. Tidak boleh menginjak dapur (tungku), barang siapa menginjak tungku dia akan bersifat seperti kucing (dalam masalah seksual), artinya, orang yang suka menginjak dapur akan suka melanggar norma/nilai di bidang seks. b. Anak gadis tidak boleh menyanyi di depan dapur. Jika dilanggar dia akan bersuamikan orang tua atau mempunyai anak tiri. c. Pada saat seorang nelayan turun ke laut, api dapur tidak boleh padam. Hal ini dimaksudkan agar nelayan/suami tersebut selamat pergi dan pulang dari melaut. d. Pada musim pengolahan tanah, istri petani tidak boleh memberi api dapurnya kepada dapur tetangganya. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan padinya habis dimakan ulat/tikus. e. Laki-laki tidak boleh bekerja di dapur karena menurunkan derajat laki-laki. f. Laki-laki (suami) tidak boleh memegang alat-alat masak. Hal ini menandakan suami tidak percaya kepada istrinya. g. Tidak boleh memukul anak-anak dengan alat-alat masak seperti sendok dan sebagainya, hal ini menyebabkan anak tersebut menjadi bodoh.

4. Suku Jawa KUWALI Kuwali atau dalam bahasa Indonesia disebut belanga, juga merupakan salah satu jenis peralatan dapur yang sering dipakai oleh masyarakat Jawa di masa lalu. Kuwali sebagai alat dapur ini pada umumnya juga dibuat dari tanah liat.Cara pengolahan atau pembuatan pun terbilang sangat sederhana.Dengan teknik sederhana, tanah liat dicampur dengan sekam kemudian dibentuk dalam cetakan piring kayu pipih yang dapat diputar.Tanah liat ditaruh di atas cetakan tersebut lalu diputar dan dibentuk sesuai besar kecilnya gerabah. Ciri khas bentuk kuwali adalah bagian pantatnya berbentuk cembung, diameter lebih dari 15 cm, lebar diameter bagian atas hampir sama dengan bagian tengah kuwali, serta bagian tengah kuwali berbentuk bulat. Besarnya sangat beragam.Ada yang berukuran kecil, sedang, dan besar. Alat yang mudah pecah ini biasa dipakai oleh masyarakat untuk memasak sayur.Kadang-kadang dipakai untuk menanak nasi, memasak air, atau menggongso biji-bijian seperti kacang atau sejenisnya.Tungku dengan bahan bakar kayu atau anglo dengan bahan bakar arang sering menemani kuwali ini dalam urusan memasak.Sangat jarang kompor dipakai sebagai alat memasak, mengingat alas kuwali berbentuk cembung.Karena bahannya yang agak tebal dan agak sulit mengantarkan panas, membuat memasak dengan alat ini membutuhkan waktu cukup lama jika dibandingkan dengan memakai alat masak modern seperti panci dari aluminium atau tembaga. Pada dekade sekarang ini, sangat jarang masyarakat Jawa yang menggunakan kuwali ini untuk memasak dan menghiasi peralatan dapur.Peralatan memasak yang dominan dewasa ini adalah menggunakan kompor biasa atau kompor gas, sehingga alat yang dipakai untuk memasak pun harus menyesuaikan.Bahkan tidak jarang masyarakat sekarang yang sudah menggunakan alat memasak dari listrik, seperti magicjar, magiccom, atau lainnya.Dengan begitu peralatan memasak sederhana seperti kuwali terdesak dalam pemakaiannya.Mungkin beberapa masyarakat di pedesaan di Jawa masih menggunakan kuwali untuk memasak, tetapi prosentase sudah sangat sedikit.Bahkan mungkin pula bahwa alat ini digunakan bukan untuk kebiasaan memasak di setiap harinya, namun hanya jika mempunyai hajatan saja, seperti pernikahan, sunatan, merti dusun, dan sebagainya. Produksi jenis gerabah ini di masa sekarang ini sudah sangat menurun.Sentra-sentra produksi gerabah (termasuk pembuatan kuwali) juga sudah jarang.Mereka kalah bersaing dengan alat masak modern yang lebih awet, lebih berkualitas, lebih ringan, dan tentu lebih praktis. Hal itu juga bisa disebabkan karena pengguna barang gerabah ini sudah tidak banyak atau mungkin pula pembuat yang semakin berkurang karena faktor usia atau tidak terjadi regenerasi. Keberadaan kuwali gerabah di perederan masyarakat dewasa ini juga sudah jarang ditemukan kecuali di beberapa sentra produksi gerabah atau ditemukan di beberapa pasar atau warung tradisional.Alat ini kadang-kadang muncul pula sebagai asesoris dalam pembuatan film berlatar tempo dulu.Hampir dipastikan saat ini setiap keluarga modern tidak memiliki alat dapur jenis ini.Beberapa instansi atau lembaga yang peduli menyimpan alat kuwali ini biasanya adalah museum, kolektor pribadi, atau balai arkeologi. Beberapa museum budaya di Yogyakarta, misalnya Rumah Budaya Tembi, Museum Sonobudoyo, Ullen Sentalu, Pakualaman tentu juga memiliki koleksi alat masak ini. Berkurangnya peredaran dan jarangnya penggunaan dalam kegiatan memasak sehari-hari membuat banyak kalangan remaja dari masyarakat Jawa yang sudah tidak kenal dengan alat masak kuwali ini.Bahkan tidak jarang di antara mereka yang belum pernah melihat barang aslinya.Tentu mereka pun tidak tahu dengan fungsi penggunaannya.Walaupun di dalam pelajaran sejarah, mungkin mereka pernah diperkenalkan, tetapi hanya dari sisi gambar saja.Maka tidak aneh banyak dari mereka kaum remaja yang buta terhadap alat-alat tradisional yang pernah dipakai oleh nenek moyangnya.Namun begitu, ada kecenderungan rumah makan-rumah makan atau warung-warung makan yang bernuansa tradisional masih mempertahankan kuwali sebagai salah satu alat andalan untuk memasak.Karena dipercaya bahwa memasak menggunakan alat masak jenis kuwali ini rasanya lebih nikmat jika dibandingkan menggunakan alat masak modern seperti panci dan sejenisnya.Selain itu dipercaya lebih higienis dan terhindar dari segala jenis kandungan zat kimia yang ditimbulkan dari bahan-bahan modern tadi. Beberapa warung makan seperti warung soto, warung gulai, atau warung lainnya sering menggunakan kuwali untuk memasak kuahnya sebelum disajikan ke para pelanggannya. Entahlah sampai kapan akan bertahan kuwali digunakan oleh para masyarakat pendukungnya untuk digunakan sebagai alat memasak. Tentu masyarakatnya sendiri yang akan menentukan. Namun yang jelas, kata tersebut akan selalu terekam di dalam kamus bahasa pendukungnya

B. Alat Transportasi
1. Jawa
a. Cikar merupakan alat transportasi pada jaman dahulu, jauh sebelum ditemukannya berbagai alat transportasi yang digerakan oleh mesin, dimana pada jamannya Cikar ini banyak dijumpai di daerah-daerah Indonesia, seperti Jawa.Selain Cikar, kita mengenal juga alat transportasi sejenisnya seperti Delman, Sado, Dokar Dll yaitu gerobak yang ditarik oleh kuda. b. Delman Pada daerah Jawa terdapat juga kendaraan tradisional disebut Delman yaitu alat transportasi tradisional beroda dua, tiga atau empat yang tidak menggunakan mesin untuk menggerakannya, tetapi menggunakan kuda sebagai penggantinya. Selain delman masih banyak kendaraan lain yang menggunakan kuda sebagai alat penggeraknya, seperti Kereta Perang, Kereta Kencana dan Kereta Kuda. Nama dari kendaraan tradisional delman ini diambil berdasarkan nama penemunya, yaitu Charles Theodore Deelman, seorang litografer dan insinyur pada masa Hindia Belanda. Yaitu wilayah koloni Belanda yang diakui oleh hukum de jure dan de facto.Orang Belanda sendiri sering menyebutnya dengan sebutan dos-a-dos yang artinya “Punggung pada punggung” (arti harfiah bahasa prancis).Yaitu sejenis kereta dengan posisi duduk orang yang menumpangi atau menaikinya saling memunggungi.Dari Istilah dos-a-dos tersebut orang pribumi Batavia menyingkatnya menjadi “Sado”. Untuk mendukung program pariwisata dan pengenalan jenis satwa kepada anak-anak di daerah Kabupaten Sintang, sejumlah LSM menyediakan angkutan wisata dengan naik delman.Angkutan yang sudah populer di daerah Jawa ini banyak mendapat respon dari masyarakat kabupaten Sintang. Sebagian Kendaraan tradisional Delman pada saat ini masih beroperasi di daerah kota terutama pada kawasan Sungai Durian. c. Andong Becak, Pariwisata, dan Yogyakarta merupakan perpaduan yang membentuk suatu icon destinasi pariwisata yang unik dan tidak dimiliki oleh destinasi di daerah lainnya dan mempunyai nilai khusus daya tarik wisatawan. Fenomena keunikan becak sebagai alat transportasi tradisional dapat dilihat dari keterkaitan hubungan yang secara konsisten masih nampak eksistensinya di dalam menjalankan fungsinya sebagai alat transportasi masyarakat.Selain itu di daerah ini juga dikenal Andong, pada mulanya sebagai alat transportasi para bangsawan di abad XIX hingga abad XX.Sedangkan rakyatnya saat itu menggunakan dokar atau gerobak sapi.Pada masa Sultan HB VIII Andong mulai digunakan oleh masyarakat umum mulai dari pengusaha dan pedagang. d.Pedati Alat transportasi darat ini menggunakan sapi atau kerbau sebagai tenaga penariknya.Pada umumnya digunakan untuk mengakut beban berat, seperti bahan bangunan, hasil bumi dan sebagainya.Kereta barang ini dijalankan pada malam hari, agar tidak menggangu kelancaran lalu lintas. Asal muasal : Kabupaten Indramayu. e. Dokar Dokarmerupakan salah satu alat transportasi tradisional di Yogyakarta dan sekitarnya.Dokar berbeda dengan andong.Dokar hanya mempunyai dua roda dan ditarik oleh satu kuda saja, sedangkan andong mempunyai roda empat yang bisa ditarik satu atau dua kuda.Keberadaan dokar sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas tersendiri di tempat-tempat wisata, seperti Parangtritis, Alun-alun Kidul Yogyakarta Indonesia. f.Sepeda Ontha Kendaraan lainnya dikenal dengan istilah sepeda onta.Sepeda Onthel atau terkadang disebut sepeda unta, sepeda kebo, atau pit pancal adalah sepeda standar dengan ban ukuran 28 inchi.Dulu, biasa digunakan masyarakat perkotaan hingga tahun 1970-an. Berbagai macam merek sepeda onthel beredar di pasar Indonesia.Pada segmen premium terdapat merek Gazelle (Belanda) dan Simplex (Belanda). 2. Lombok Cidomo atau kepanjangan dari cikal dokar motor adalah kendaraan khas pulau lombok. Kendaraan ini terbuat dari kayu dan terdiri dari dua roda yang ditarik dengan menggunakan kuda.Kendaraan yang mirip dengan Cidomo juga terdapat di Yogyakarta namun roda yang di pakai berbeda yaitu dengan menggunakan kayu dengan dilapisi karet. Di yogyakarta dinamakan “Dokar”. 3. Banjar Keadaan alam Kalimantan Selatan meliputi sungai, danau, rawa, dataran tinggi, dataran rendah, pegunungan, pantai laut, dan pulau-pulau kecil.Keadaan alam tersebut memberikan corak khusus pada kehidupan masyarakat dikawasan ini, baik itu kehidupan sosial, ekonomi maupun budayanya.Menarik bila kita mengkaji bagaimana kehidupan masyarakat Banjar yang tinggal dikawasan dimana sebagian besar wilayahnya terdiri atas sungai, danau, dengan menggunakan Jukung sebagai alat transportasi air. 4. Bugis Makassar a. Transportasi laut Suku Bugis Makassar adalah salah satu pewaris bangsa bahari. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian menguasai laut dengan layar. Perantauan mereka sudah terkenal abad2 lalu. Ditemukannya komunitas orang Bugis Makassar di beberapa kota di Indonesia merupakan bukti perantauan mereka sejak dahulu. Mereka tidak hanya menguasai perairan wilayah nusantara, tetapi sejak beberapa abad lalu juga melanglang buana jauh melampaui batas-batas negara. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa sejak dulu pelaut Bugis Makassar telah sampai di Semenanjung Malaka, Singapura, Philipina, Australia Utara, Madagaskar dan sebagainya . Dalam melakukan pelayaran ke berbagai penjuru Nusantara maupun negara lain, para pelaut Bugis Makassar menggunakan alat transportasi tradisional yaitu perahu. Perahu yang mereka gunakan itu ada beberapa jenis. Salah satu jenis yang digunakan dalam kurun waktu terakhir ialah perahu Pinisi. Perahu Pinisi telah digunakan oleh pelaut Bugis Makassar sejak ratusan tahun lalu.Walaupun orang Bugis Makassar terkenal sebagai pelaut ulung dengan menggunakan perahu tradisional yang kokoh, tetapi ternyata perahu yang mereka gunakan tersebut dibuat oleh satu komunitas tukang perahu Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Kecamatan Bontobahari (Ara, Bira, Lemo-lemo/Tanahlemo), kondisi geografisnya berbeda dengan kecamatan lain di bagian utara dan bagian barat Kabupaten Bulukumba. Gambar : Perahu modifikasi pinisi (?) tanpa layar, berdiri kokoh di musium samudera Melaka Malaysia Keahlian berlayar bagi orang Bugis Makassar telah dikenal sejak sekitar abad XVI.Dengan demikian berarti sejak waktu itu pula keahlian membuat perahu sudah berkembang.Penggunaan perahu di Sulawesi selatan telah berlangsung sejak dahulu.Menurut beberapa sumber perahu yang dipergunakan masyarakat pesisir ada beberapa jenis.Tetapi perlu diketahui pada umumnya perahu yang mereka gunakan adalah perahu kecil yang dipergunakan untuk menunjang aktifitas mereka sehari – hari.Menurut legenda, perahu besar mulai dikenal di Sulawesi selatan sejak zaman Sawerigading seperti disebutkan di dalam Lontarak I lagaligo. Sawerigading adalah putra Raja Luwu yang diyakini pertama kali menggunakan perahu yang berukuran besardiperkirakan sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai.Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu.Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo.Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi. Konon perahu tersebut dibuat dengan kekuatan magis/ghaib di dalam perut bumi oleh neneknya yang bernama La Toge Langi (gelar Batara Guru).Karena melanggar sumpah, dalam suatu perjalanan perahu Sawerigading dihantam badai dan pecah ditelan gelombang.Kepingan-kepingan perahu tersebut hanyut dan terdampar di beberapa tempat disekitar Tanjung Bira, Sebahagian besar badan perahunya terdampar dipantai Ara, sotting/Linggi perahu terdampar di Lemo-lemo sedangkan layar dan tali temalinya terdampar di Bira.Orang Ara mengumpulkan kepingan-kepingan perahu tersebut lalu menyusunnya kembali (nipuli paso’–direkonstruksi).Selanjutnya mereka percaya bahwa dari hasil rakitan itulah nenek moyang mereka mendapatkan ilham dasar membuat perahu yang disusun dari lembaran–lembaran papan.Mereka percaya konstruksi perahu sawerigading telah dibakukan oleh nenek moyang mereka yang selanjutnya menjadi pola dasar dari perahu yang terkenal yakni Pinisi.Bagi orang Lemo-lemo (Tanahlemo) percaya pula bahwa keahlian membuat perahu yang mereka miliki bersumber dari penemuan bagian perahu Sawerigading.Demikian pula orang Bira, mereka percaya bahwa keahlian berlayar yang mereka miliki sejak dahulu diwarisi dari penemuan layar dan tali temali perahu Sawerigading. b.Transportasi darat Transportasi yg dulu digunakan utk Petani adalah Kuda. Biasanya dipake Matteke gabah dan kerbau untuk Membajak sawah,,,tapi sekarang populasi kuda sekarang sdh mulai berkurang, kebanyakan sekarang memakai Sepeda utk mengangkut Gabahnya.

2 komentar:

  1. rapihin mas postnya ;)

    BalasHapus
  2. kwkwkwkwk kaga jelas, orang mau cari informasi malah baca cerpen :v

    BalasHapus