Selasa, 11 September 2012

“PERILAKU MASYARAKAT PESISIR DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN KELUARGA”

Fenomena Sosial “ Bagaimana Perilaku Masyarakat Pesisir dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga? ” Fenomena sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat menunjukkan beragamnya kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi. Akibat desakan kebutuhan ekonomi, terbatasnya kepemilikan lahan dan faktor produksi lainnya menyebabkan banyak penduduk di daerah bagian selatan Makassar seperti di Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar yang terpaksa melakukan urban ke kota Makassar untuk menjadi tenaga kerja kasar seperti buruh bangunan. Mereka banyak yang beralih profesi dengan harapan dapat merubah tingkat sosial dan ekonomi yang selama ini mereka anggap sangat kurang. Padahal daerah mereka yang secara geografis berada di daerah pesisir sangat strategis untuk dilakukan pengembangan berbagai sumber daya laut yang dapat menambah pendapatan mereka. Daerah pesisir dilihat dari letaknya merupakan wilayah transisi antara ekosistem laut dengan ekosistem darat yang memiliki sifat dan cirri yang unik. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan pembesaran air laut. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar atau yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Sepanjang pesisir Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar, terdapat potensi sumber daya laut yang belum dikelola secara optimal sehingga memberikan pengaruh bagi pertumbuhan ekonomi daerah yang belum merata, termasuk di dalamnya taraf kesejahteraan masyarakat yang belum mengalami peningkatan. Sumber daya yang ada di laut masih dapat dibudidayakan secara optimal apabila dikelola secara benar. Atas dasar inilah, maka pola pemanfaatan kekayaan sumberdaya pesisir dan laut di Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar diharapkan dapat mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal dan efisien sehingga tercapai pola pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan desa-desa pesisir yang ada di wilayah pesisir Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Usaha pengembangan desa pesisir tersebut perlu terlebih dahulu diketahui akar permasalahan dan potensi-potensi yang ada di wilayah tersebut termasuk gambaran perilaku masyarakat dalam mengelola sumber daya yang ada. Pengelolaan sumber daya laut seperti pengelolaan rumput laut di Kecamatan Galesong Utara telah berlangsung sejak tahun 2000 dan baru dikembangkan pada tahun 2003. Kegiatan budidaya rumput laut yang banyak dilakukan di Kecamatan Galesong Utara bermula dari kegiatan coba-coba dan semata-mata hanya sebagai pekerjaan sampingan selain mencari ikan di laut. Jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat petani tumput laut yang ada di Kecamatan Galesong Utara adalah jenis Eucheuma sp yang secara fisik mempunyai ciri-ciri berwarna putih, pink tua, cokelat dan hitam dengan diameter batang antara 0,2cm – 0,8 cm dengan batang bergeririgi dan halus. Secara teoritis, rangkaian kegiatan pengelolaan sumberdaya rumput laut dimulai dari pemilihan lokasi, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengelolaan pascapanen dan pemasaran. Seluruh tahapan kegiatan pengelolaan sumberdaya rumput laut umumnya dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kecamatan Galesong Utara secara bersama-sama berdaarkan pengetahuan yang dimiliki dan adat istiadat/kebiasaan yang beralngsung secara alami. Kegiatan pengelolaan rumput laut di Kecamatan Galesong Utara pada dasarnya didorong oleh berbagai factor terutama adalah keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga petani yang secara ekonomi mereka masih tergolong masyaralkat yang taraf kesejahteraannya masih rendah. Selain itu juga didorong oleh faktor-faktor: (1) rumput laut mudah dibudidayakan, (2) harga rumput laut kering relatif tinggi, (3) rumput laut mudah dijual, (4) waktuu tanam hanya 35-40 hari dan (5) lahan yang dipakai untuk pemeliharaan rumput laut juga tersedia. Dengan pertimbangan inilah maka masyarakat di daerah pesisir banyak mengembangkan kegiatan pengelolaan rumput laut, karena selain tidak terlalu banyak membutuhkan biaya, proses pengelolaannya tidak terlalu sulit dan hasil penjualannya luayan untuk menambah pernghasilan. Namun demikian dalam pengelolaan rumput laut masih banyak anggota masyarakat yang belum mengerti dan belum memahami dengan baik pengelolaan rumput laut yang baik, seperti yang diharapkan. Akibatnya hasil penjualan rumput laut tersebut juga kadang-kadang bahkan selalu bervariasi. Gambaran di atas memberikan inspirasi bagi penulis untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang perilaku masyarakat pesisir di Kecamatan Galesong Utara dalam mengelola sumber daya laut. Pada kenyataannya banyak diantara mereka yang melakukan pengelolaan sumber daya laut secara santai namun hasilnya sangat memuaskan, di sisi lain ada anggota masyarakat yang melakukan pengelolaan rumput laut dengan serius dan sesuai dengan petunjuk pengelolaan namun hasil yang mereka peroleh justeru kurang memuaskan sehingga hasil penjualannya pun juga berkurang. Dengan kondisi inilah maka akan difokuskan pembahasan tentang “Bagaimana Perilaku Masyarakat Pesisir dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga?” PARADIGMA RISET SOSIAL Ilmu melalui filosofinya secara sederhana dapat dikatakan sebagai dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu alumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa sehingga memenuhi asas pengaturan secara procedural, metologis, teknis dan normative akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan pengetahuan tidak ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupuun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara procedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas ilmiahnya). Sedangkan pengetahuan yang pra ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, dikategorikan pengetahuan pra ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis metodologis. Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan keilmuan tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Ketiga ialah dari segi aksiologi, yaitu terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Namun untuk pembahasan dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai usur ontologism seperti yang diuraikan Dr. Andi Agustang, M.Si, bahwa dalam suatu riset/penelitian sosial perlu memperhatikan dua matra dan empat paradigma keilmuan, seperti dalam bagan berikut ini: Bagan : Paradigma Keilmuan Humanistik Struktur Fenomonologi Fungsi Bagan di atas menunjukkan bahwa paradigma yang dimaksud terdiri atas 4 (empat), yaitu : (1) struktur, (2) fungsi), (3) humanistik, dan (4) fenomonologi. Struktur dan fungsi ini mengungkap berbagai fenomena secara objektif sedangkan humanistik dan fenomonologi mengungkap fenomena secara subjektif. Struktur dan fungsi pada hakikatnya melihat masyarakat dari segi struktur dan keberfungsiannya dalam lingkungan sosialnya. Tentunya ini didasarkan pada berbagai fakta-fakta atau realitas sosial sehingga paradigma ini melahirkan matra objektif. Humanistik merupakan pengungkapan fenomena dengan mempertimbangkan unsur kemanusian. Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam) Fenomenologi terkait dengan pengungkapan makna dibalik fakta. Semua pengembangan dan peningkatan kawasan pemukiman industri terutama di Negara berkembang melahirkan berbagai fenomena sosial yang baru. Fakta menunjukkan bahwa makna yang terkandung di balik pembangunan membentuk kemiskinan berpindah yang tidak bisa terhindarkan. Paradigma humanistik dan fenomonologi inilah yang membentuk matra subjektif. Fenomena di atas sejalan dengan tingkat kebudayaan yang sebelumnya dimana berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. dalam sejarah perkembangannya menguraikan bahwa terjadinya perubahan sosial di Eropa berupa revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial di Perancis pada abad 19 dan 20 mengakselerasi lahirnya ilmu sosial. Revolusi industri bukan kejadian tunggal, tetapi merupakan berbagai perkembangan yang saling berkaitan yang berpuncak pada transformasi dunia barat dari corak sistem pertanian menjadi sistem industri. Banyak orang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Pabrik itu sendiri telah berkembang pesat berkat kemajuan teknologi. Birokrasi ekonomi berskala besar muncul untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh industri dan sistem ekonomi kapitalis. Harapan utama dalam ekonomi kapitalis adalah sebuah pasar bebas tempat memperjualbelikan berbagai produk industri. Di dalam sistem ekonomi kapitalis inilah segelintir orang mendapatkan keuntungan sangat besar sementara sebagian besar orang lainnya yang bekerja membanting tulang dalam jam kerja yang panjang, menerima upah yang rendah. Situasi seperti itulah mendorong munculnya reaksi menentang sistem industri dan kapitalisme pada umumnya yang diikuti oleh ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal lain yang bertujuan menghancurkan sistem kapitalis dan berujung pada pergolakan dahsyat dalam masyarakat eropa. Pergolakan ini pula yang mendorong para sosiolog (Marx, Weber, Durkheim dan Simmel) untuk mempelajari masalah tersebut dan menghabiskan waktunya untuk mengembangkan program yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga muncullah istilah “sosialisme”, sebagai jawaban atas sistem kapitalisme yang dianggap meresahkan masyarakat di era industri. George Berkeley (1713) menulis essai ilmu sosial bertajuk De Motu, yang berupaya melacak analogi antara dorongan tindakan fisik dalam dunia material dan dorongan moral dan dimensi psikologis dalam masyarakat. Ibarat tata surya yang saling tarik menarik satu sama lain, demikian juga halnya dengan manusia. Kekuatan tarikan moral menarik seperti kekuatan alam, manusia terdekat akan semakin kuat tarikannya. Pada saat yang sama juga terjadi fluktuasi tarikan pada manusia seperti kekuatan sentrifugal yang terjadi pada sistem tata surya. Upaya semacam itu dalam konteks ilmu sosial dianggap premature. Karena untuk mencapai kemapanan ilmu sosial penting, paling tidak ada dua kondisi dasar yang wajib dipenuhi sebelum ilmu social dapat muncul, yaitu: (1) naturalism, yaitu doktrin yang menjelaskan bahwa semua gejala dapat dijelaskan dalam logika sebab akibat (cause and effect), (2) sistem evaluasi etis harus diminimalkan atau diabaikan sama sekali. Hal itu diperlukan agar gejala sosial tidak terkekang dalam persoalan nilai. Para pemikir ilmu sosial terdahulu telah banyak memunculkan ide dan gagasan yang masih lazim digunakan oleh pemikir-pemikir sekarang, walaupun pada hakikatnya banyak menimbulkan pertentangan antara pemikir itu sendiri. Dengan berlandasakan pada beberapa proposisi utama yang rasional dan natural dalam ilmu sosial seperti; (1) pikiran merupakan perangkat yang secara universal dimiliki manusia, (2) hakikat manusia sama secara universal, (3) lembaga dibangun oleh manusia, bukan manusia ada untuk lembaga, (4) kemajuan merupakan hukum utama masyarakat serta (5) gambaran ideal manusia merupakan realisasi dari kemanusiaan itu, banyak memberikan inspirasi bagi teoritisi sekarang untuk mengembangkan konsep ilmu sosial baru. Kritik Terhadap Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia Ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia disebabkan oleh; Pertama, harus dilacak sejak Orde Baru berkuasa. Hal itu ditandai oleh dilarangnya Marxisme sebagai mata ajaran di seluruh jenjang pendidikan. Ini sangat penting karena, anda tidak bisa belajar teori dengan benar dalam suasana akademik yang tidak demokratis. Misalnya, ketika pengajar mengatakan, Marxisme itu berbahaya, teori kelas itu tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, para murid tidak bisa bertanya “kenapa berbahaya dan kenapa tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia?” Sekali murid bertanya, maka pengajar langsung curiga, “jangan-jangan si murid ini dari keluarga atau ada hubungan keluarga dengan orang-orang PKI.” ? Katakanlah, si pengajar orang yang bijaksana dan terbuka pada pertanyaan seperti itu. Dan ia mau mendiskusikannya di ruang kelas, apa yang terjadi? Si pengajar dipanggil oleh atasannya, di cek “kebersihan dirinya,” lalu di wanti-wanti. Gila juga kan? Celakanya, larangan itu masih berlaku hingga kini, masa dimana orang berbusa-busa bicara demokrasi dan keterbukaan. Dan kita dapati, para intelektual yang menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa memperjuangkan secara sungguh-sungguh demokratisasi dunia pendidikan. Dan sangat lucu, bagaimana mereka bisa menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa sungguh-sungguh memahami apa itu Marxisme dan teori kelas, mendiskusikannya secara terbuka dan egaliter? Lantas, darimana mereka belajar Marxisme? Sembunyi-sembunyi di malam gelap? Pantas, jika ada joke, "salah satu tanda seorang intelektual, adalah dia berkacamata." Hah? Selain itu, pelarangan mata ajaran Marxisme membuat para intelektual dan calon intlelektual di Indonesia, terputus dari akar tradisi akademik yang sangat besar dan sangat dalam di dunia ini. Bagaimana anda bisa memahami teori Weberian, Parsonian, Schumpeterian, Keynesian, Dahlian atau bahkan Hayekian, tanpa memahami Marxian? Bagaimana anda bisa memahami, pandangan dunianya Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari atau Sayyid Qutb, tanpa memahami pandangan dunianya ilmuwan sekuler? Perkembangan ilmu itu berlangsung secara dialektik, yang satu tidak mungkin berkembang tanpa yang lain, ia adalah hasil pergumulan tanpa henti, saling serang, saling kritik, yang satu mengafirmasi atau bahkan menegasi yang lain. Ilmu pengetahuan tak bisa berkembang atas nama yang suci, atau atas nama doktrin-doktrin yang turun dari langit. Kedua, ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia, adalah tidak adanya penghargaan yang komprehensif terhadap para intelektual. Coba dengar kata almarhum. Soedjono, mantan orang kuat jaman Soeharto, “Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya,” (Tempo, 4-10/2/2008). Akibat turunannya, yang berlanjut hingga kini, tidak ada fasilitas perpustakaan yang lengkap, tidak ada mekanisme yang terukur dan teruji menyangkut peningkatan kualitas tenaga pengajar, tidak ada jurnal yang berbobot, tidak ada dukungan bagi penerbitan karya-karya akademik bermutu, serta tidak ada jaminan rasa aman bagi intelelektual dalam kerja-kerja akademiknya. Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Arief Budiman cs dari universitas Satya Wacana, Salatiga, yang dipersona non gratakan, hanya karena mereka bersuara beda dengan kepentingan kekuasaan. Kasus paling anyar, tentu saja perlakuan keji terhadap almarhum Munir, yang dihabisi akibat kritik-kritiknya yang tajam. Dan hingga kini, kita masih saja mendengar, para intelektual yang bicara kritis, bisa segera di cap provokator, atau merusak suasana nyaman yang sangat dibutuhkan saat ini. Ketiga, dua keadaan di atas telah membentuk budaya intelektual yang kering kerontang dan mentalitas cari aman serta penempuh jalan pintas. Kita tentu ingat dengan ungkapan ini, “karya terbesar intelektual di Indonesia, adalah disertasi doktoralnya.” Setelah itu, tak ada lagi, dan dalam waktu singkat mereka berbondong-bondong menjadi komentator atau menjadi manajer. Kita akan dengan mudah menemukan mereka lewat artikel-artikel yang bertaburan di media massa. Bahkan, ada yang secara spektakuler sanggup menulis lebih dari dua artikel berbeda dalam sehari di media yang berbeda. Kita juga akan mudah melihat wajah mereka di layar kaca, menjadi pembicara atau host. Kalau kita ikuti perdebatan mereka di layar kaca, kita akan segera tahu betapa pandainya mereka bermain kata-kata. Profesi lain dari para intelektual ini adalah menjadi manajer kampanye politik dari kandidat yang mereka dukung atau yang membayarnya. Jika kandidat yang mereka dukung menang, mereka ikut dalam kereta kencana kekuasaan, menjadi juru bicara atau tukang bisik penguasa. Kita jadi bingung, mereka omong sebagai intelektual yang harus menimbang secara cermat setiap kata yang diucapkan dan ditulisnya, atau mereka menjadi tukang pembenar segala langkah yang ditempuh patronnya. Hari ini omong A, besok omong B. Kondisi ini dengan telak mematahkan asumsi yang luas diyakini selama ini, bahwa kesulitan terbesar dari tidak lahirnya karya-karya bermutu dari intelektual di Indonesia, karena rendahnya imbalan material buat mereka. Boleh jadi benar bahwa gaji para intelektual itu sangat rendah dibandingkan dengan rekannya di Amerika, misalnya. Tapi, kita tahu persis, kini sebagian dari para intelektual itu menikmati pendapatan yang sangat besar, bahkan ada yang telah menjadi kaya-raya. Hampir semua dari intelektual yang bergelar doktor itu punya proyek, apakah dalam bentuk LSM atau lembaga think-tank. Tapi, apakah kemudian mereka menghasilkan karya bermutu? Keempat, para teoritisi sosial hanya memberikan jawaban dan kritik terhadap teori-teori yang dikemukakan teoritisi lainnya, sehingga kadang-kadang mereka larut dalam pertentangan konsep yang berkepanjangan. Sebut saja misalnya antara ilmu sosial positif dan ilmu social kritis. Ilmu sosial positif berasumsi bahwa cara penjelasan yang dilakukan terhadap suatu obyek diberlakukan secara umum terhadap semua ilmu pengetahuan. Paradigma yang dikembangkan adalah nomologis dan ini tidak bisa diterima oleh ilmu sosial pada umumnya, terutama ilmu sosial kritis. Cara ilmu ini selain nomologis adalah ahistoris, diterministik dan prohabilistik. Penjelasan terhadap suatu gejala biasanya dikaitkan dengan usaha meramalkan apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Semua kegiatan didalam ilmu sosial positif, dari pengumpulan data, penyempurnaan data, korelasi data, dan formulasi generalisasi, hipotesa dan pengembangan model-model penelitian, semuanya diarahkan untuk menguji teori yang dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah logika yang ditetapkan secara ketat. Ilmu sosial kritis justru hadir menentang kaidah-kaidah keilmuan yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial positif, dan karena itu mudah menggoncang paradigma. Bila ilmu-ilmu sosial positif mempelajari perilaku manusia maka ilmu sosial kritis mempelajari aksi manusia dan melihat bahwa dunia sosial diciptakan melalui tindakan manusia dan pemahaman inter subyektif. Ilmu sosial kritis mencoba memahami hubungan kondisi-kondisi sosial dengan tindakan subyektif manusia dengan berbagai macam kepentingannya. Karena hubungan antara kondisi sosial dan tindakan manusia itu sifatnya sangat rumit, maka ilmu sosial kritis tidak percaya dengan apa yang disebut prediksi. Karena hakekat masyarakat adalah pemahaman dan tindakan masyarakat itu sendiri maka secanggih apapun kondisi sosial itu diramalkan dan diatur dengan ketat sedemikian rupa, didalamnya pasti terdapat banyak kesalahan. Kalau konsep-konsep dan katagori-katagori ilmu sosial positif masih banyak kita gunakan sekarang, pada masa datang nanti sudah tidak dapat lagi. Kaum positivist beranggapan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah usaha mengembangkan disiplin ilmu yang dipelajari, tetapi tragisnya mereka justru melepaskan bagaimana proses-proses sosial itu tercipta. Jika semua proses sosial dipahami sebagai produk tindakan manusia, maka semua pertimbangan kritis harus dimulai dari pemahaman, nilai-nilai, dan inter subyektif. Pengertian-pengertian, nilai-nilai dan motif-motif ini harus dikembangkan dengan proses-proses sosial dengan cara menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka dibangun oleh tindakan dan refleksi manusia. Penjelasan-penjelasan kritis di dalamnya meliputi teori-teori dasar tentang perubahan struktural, nilai-nilai, pengertian-pengertian dan motif-motif yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan struktural. Perbedaan-perbedaan pemahaman tentang struktur sosial (meliputi kekuatan domianan dan kekuatan pinggiran) harus dikaji dalam teori kritis. Sebagai contoh suatu gagasan mobilitas sosial boleh jadi didukung oleh pengalaman personal golongan minoritas kapitalis, terutama di Amerika Serikat pada waktu itu. Konsep mobilitas sosial dalam prakteknya ternyata hanya memberikan keuntungan kaum kapitaslis belaka, sedang orang-orang golongan lemah justru semakin tersingkir karena kelemahannya secara ekonomis oleh penguasa kapitalis. Konsep-konsep yang diciptakan oleh manusia ternyata dalam prakteknya dapat memberikan keuntungan bagi beberapa pihak dan merugikan beberapa pihak-pihak lainnya. Selama manusia yang mencari keuntungan ingin tetap mempertahankan posisi mereka sedang mereka yang tidak diuntungkan dengan sistim tersebut sengaja dibuat tidak paham agar terus menerus dapat dijadikan ajang dominasi. Ilmu sosial kritis hadir ditengah-tengah masyarakat dengan pertimbangan-pertimbangan kritis, ingin menyadarkan manusia yang tidur didunia mereka sendiri. Karena karakternya yang demikian, maka didalam dirinya senantiasa terkandung keinginan untuk melakukan perubahan, baik secara radikal atau tidak. Perubahan-perubahan radikal terjadi karena adanya kontrakdisi-kontrakdisi dalam proses sosial, artinya ada pihak yang mencari keuntungan dan ada yang dirugikan dari haknya antar kelompok didalam ilmu sosial. Semua ini dapat dipahami lewat ideologi dan kondisi-kondisi sosial yang berkembang selama ini. Kontrakdisi fundamental akan terjadi apabila kepentingan-kepentingan sebagian fihak bertentangan terus menerus dengan kepentingan pihak lainnya, misalnya dalam satu sistim sosial yang memberlakukan praket-praket monopoli berhadapan dengan sistim kompetisi bebas. Satu kelompok atau kelompok yang tertindas di dominasi dalam sistim yang berkembang sekarang ini akan melakukan perlawanan dan melakukan perubahan sosial sebagaimana mereka kehendaki. Ini adalah perkara politik dan karena itu harus berkali-kali dijelaskan bahwa teori kritis memang tidak bisa dipisahkan dari politik praktis. Sejauh mana pergolakan politik itu timbul tergantung pada derajad pertentangan kepentingan kaum progressive dengan para pemegang kekuasaan. Kalau kontradiksi yang terjadi tidak terlalu mendesak, pada umumnya dapat diselesaikan melalui cara damai tanpa harus membungkus ideologi dan struktur kekuasaan. Tetapi kalau kontradiksi itu sangat mendesak, tidak ada cara lain kecuali merombak ideologi dan struktur yang dianggap tidak mapan. Kapan kontradiksi fundamental itu akan terjadi tidak dapat diramalkan oleh ilmu sosial, sebab ini menyangkut kesepakatan manusia secara bersama-sama menghadapi ideologi dan struktur yang berkembang. Karena itu dapat dirumuskan bahwa tujuan teori kritis bukanlah untuk meramalkan perubahan sosial, melainkan memahami perkembangan sejarah masyarakat sehingga mereka melakukan perubahan sosial. Masuknya ilmu sosial kritis dalam percaturan politik praktis seperti dikatakan diatas kemudian membedakan para ilmuwan sosial positif disatu pihak dengan ilmuwan sosial kritis dilain pihak. Ilmu sosial di Indonesia seperti di negara lain, oleh penulis dianggap tidak mengalami perkembangan seperti halnya dengan ilmu lain, misalnya ilmu alam. Walaupun perkembangannya tidak terlalu besar, tetapi dapat memberikan kontribusi berarti dalam pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Salah satu cabang ilmu sosial yang cukup signifikan dalam perkembangan ilmu sosial adalah sosiologi itu sendiri, di mana perkembangan terakhir ini muncul suatu isitilah baru dalam sosiologi, yaitu sosiologi profetik, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma ilmu sosial profetik (ISP). ISP dicetuskan oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan ilmu sosial yang mampu mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental. Sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini sekaligus menjawab teori positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos dan cerita rakyat (folk wisdom) yang belum tentu kebenarannya. Uraian ini memberikan gambaran bahwa secara ontologi perkembangan ilmu sosial yang berkiblat ke dunia barat, dapat memberikan penguatan terhadap kelahiran konsep dan istilah baru ilmu sosial. Konsep terdahulu dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam merumuskan dan pengembangan teori-teori sosial modern, bahka lebih dari itu dijadikan sebagai konsep penanganan masalah-masalah sosial yang melanda semua negara di dunia. Secara hipestemologi, ilmu sosial yang berkembang dsampai dewasa ini maish sering dipertentangkan, apakah bisa diistilahkan sebagai ilmu baru atau hanya sebuah kata yang mengandung unsur sastra. Pertanyaan ini masih melengkapi teka teki keilmiahan teori sosial. Pembentukan premis mayor dan minor yang seharusnya melandasi conclucion sebuah teori masih sering dipertanyakan, apakah sesuai dengan metode ilmiah atau hanya hanya sekadar pernyataan biasa. Secara aksiologi, kekurangan perkembangan ilmu sosial di Indonesia yang mendapat inspirasi dari dunia luar yang kebarat-baratan (westernisasi) lebih mengutamakan unsur akal dan nafsu, sehingga melahirkan konsep yang berwarna liberal, kapital, dan humanis. Suatu konsep yang bertolak belakang dengan nilai dan norma kehidupan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi peradaban dan kesantunan dalam bermasyarakat. Namun dengan adanya terpaan angin liberal dan kapitalis yang begitu kencang, tatanan kehidupan Inondesia yang dulunya masih memegang teguh nilai dan norma, kini mulai terkikis dan terganti dengan budaya liberal dan kapitalis yang serba material dan hedonis. DAFTAR PUSTAKA Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Rosda Karya. Bandung. Filsafat Ilmu dan Metodologi, http//Volcano.Und.Nodak Edu/vwdocs/msh/is/ cl.html.(10 Oktober 2009) Ritzer George dan D.J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta. Sosiologi Profetiki, http//Volcano.Und.Nodak Edu/vwdocs/msh/is/ cl.html.(10 Oktober 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar