Selasa, 11 September 2012

LEMBAGA-LEMBAGA KEMASYARAKATAN

LEMBAGA-LEMBAGA KEMASYARAKATAN A.Pola Perdagangan dan Keuangan dalam Pemasaran Tani di Jawa 1.Pola perdagangan dan jenis pedagang Pola perdagangan tergantung pada mudah rusaknya barang-barang maupun maupun dari hubungan antara jumlah yang dihasilkan dengan kapasitas absorbsi pasar lokal terhadap barang-barang itu. Pola perdagangan juga berbeda sesuai dengan hal apakah barang-barang itu dijual eceran kepada pemakai atau secara besar-besaran kepada pedagang baru lain. Pada umumnya barang yang mudah rusak dari produsen-produsen kecil yang tersebar, dikerjakan dengancara yang disebut teknik perdagangan besar secara kecil-kecilan, sedangkan barang yang tidak begitu mudah rusak yang besar permintaannya di kota-kota dikerjakan dengan teknik perdagangan besar. Beberapa jenis hasil bumi dan banyak hasil industri rumah tangga melahirkan beberapa masalah khusus sebagaimana juga hasil pabrik dan barang-barang impor dan tidak tergolong pada kategori tersebut di atas. Para pedagang digolongkan sesuai dengan fungsi yang dilakukannya: transport, pengumupulan barang, penyimpanan dan pemecahan jumlah-jumlah yang besar untuk perdagangan eceran. Taraf spesialisasi menurut fungsi dan hasil para pedagang berhubungan erat dengan sifat-sifat pasaran barang-barang dengan volume yang diperjualbelikan. 2. Spesialisasi dan pembagian kerja Spesialisasi fungsi di antara para pedagang lahir dari kebutuhan pembagain pekerjaan dalam satu usaha yang demikian besar dan kompleksnya sistem pemasaran tani di Jawa. Timbulnya ragam pola perdagangan disebabkan oleh sifat barang-barang itu, volume yang harus diusahakan, tingkat konsentrasi pada hasil perdagangan dan sifat mudah rusaknya barang-barang itu. 3. Cara orang-orang Jawa menggambarkan arti sistem Umumnya orang Jawa tidakk menggambarkan arti sistem itu sebagai jasa-jasa yang diberikan oleh beberapa kelas pedagang sebagaimana dilakukan yang lainnya.Mereka tidak melihat bagaimana keuntungan yang diterima merupakan imbalan atas pekerjaan yang mereka lakukan.Pedagang—edagang pengngkat yang membawa barang-barang dari daerah dianggap sebagai seorang yang mengambil keuntungan dari kelebihan di desa dan dari ketidakberanian dan kekurangan keterampilan serta pengetahuan produsen. 4. Sahnya keuntungan perdagangan Suatu segi yang menarik dari yang dapat dilihat dari mempersoalkan keuntungan perdagangan adalah bahwa pedagangan merupakan caramencari penghidupan yang sah. Sikap ini diambil oleh pedagang maupun bukan pedagang dan masyarakat mengakui hak dari mereka yang ingin mencari uang dengan jalan manipulasi persediaan dan perminataan.Setiap orang mengakui bahwa pengangkutan dan perdagangan harus dilakukan jika hasil usaha meraka hendak djual dan barang-barang konsumen disediakan. Bahwasanya orang menghayati pentingnya jasa-jasa yang dilakukan oleg pedagang melahairkan suatu dasar untuk mengakui perdagangan sebagai kedudukan yang sah, sekalipun keuntungan dari itu tidak dianggap sebagai upah untuk pekerjaan yang dilakukan. 5. Mudahnya masuk bidang perdagangan Mudahnya masuk bidang perdagangan juga membentuk pandangan orang awam terhadap pedagang-pedagang Jawa tetapi tidak terhadap pedagang Cina.Sukar membedakan antara oedagang dan bukan pedagang, maka hampir tidak terdapat sifat permusuhan.Jika seorang petani merasa tidak mendapatkan harga yang wajar untuk barangnya dari pedagang pengangkut, maka ia akan menajalankan dagangannya sendiri. Demikian juga para pedagang pengangkut bisa berfungsi sebagai seorang tengkulak. Dengan demikian, maka dengan mudahnya masuk bidang perdagangan dapat menjamin mereka yang bersangkutan bahwa tidak aka nada pihak yang mengambil keuntugan luar biasa, karena setiap orang yang beranggapan demikian dengan sendirinya akan menjadi pedagang. B. Mengembalikan Keberadaan Gerakan Masyarakat 1. Memahamim gerakan rakyat Sebagai ilustrasi ada seorang lurah memeirntahkan para rakyatnya untuk kerja nakti membangun dam. Secara obyektif pembangunan dam ini non sense atau sia-sia karena pasti akan hancur dalam satu hari. Rakyat pun tahu kondisi ini obyektif ini apalagi mereka juga tahu sebagian uangnya dimakan oleh pak lurah.Bagai kaum terpelajar gerakan untuk menentang pak lurah ini diekspresikan dengan cara-cara protes seperti mosi tidak percaya, sebaliknya bagi masyarakat walaupun mereka tahu non sense tetapi karena ini perintah pak lurah maka dikerjakan juga. 2. Dua logika dibalik gerakan Ada 2 logika yang berbeda apabila kita mencoba mengerti gerakan masyarakat.Logika pertama adalah logika kaum terpelajar sedangkan yang lainnya adalah logika dari masyarakat bwah itu sendiri. Misal, kita sering mendengar bagaimana wong cilik menarik diri dari segala ramainya kehidupan social politik. Bagi kaum terpelajar ini sering diartikan sebagai gejala escapisme masyarakat bawah. Istilah escapismehanya bisa datang dari orang yang aktif yang sedikit banyak sudah memiliki gaya berfikir barat. Yang disebut aktif selalu berkonotasi yang baik sedangkan yang pasif itu negatif atau jelek. 3. Terbatasnya kontrol Dalam perjalanan sejarah selalu terbukti bahw apenguasa dalam puncak kekuasaannya selalu lengah.Semkain tinggi kekuasaannya, semakin besar juga persentase kelengahannya, dan ini merupakan hukum sejarah yang bbisa kita pelajari. Misal analoginya dengan mobil dan peswat, jika saya naik mobil bahayanya juga ada tetapi mobil itu sedikit banyak bias saya kontrol, tetapi jika saya sudah ada dalam pesawat jumbo maka sedikit saja kelengahan maka sudah pasti hancur. Semakin canggih jumbo atau raksasa maka akan semkain lemah. Sense of survival danmonitoring system orang miskin tentang bahaya di sekelilingnya tinggi sekali. Sebaliknya orang-orang kaya atau berkuasa sangat lemah.Jadi tidak heran jika memerlukan para tukang pukul untuk melindunginya dan ini merupakan suatu hukum alam. Mengenai adanya intervendi dari luar terhadap gerakan masyarakat, sangat tergantung kepada cara melihatnya. Hal ini bias diumpamakan seperti mesiu dan pijar api. Jika mesiu itu ditumpuk dan kemudian ada satu pijar api yang menyulutnya maka mesiu akan meledak.

HUBUNGAN DESA DAN KOTA

HUBUNGAN DESA DAN KOTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil pada daerah pedesaan antara lain: (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju; (2) kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar; (3) kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya manusia; (4) belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; (5) belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini. Selain itu nampak pula belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh. Banyak wilayah-wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, oleh: (1) adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan; (2) belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah; (3) belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku usaha swasta; (4) belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan; (5) masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerjasama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan; (6) masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran, dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerjasama investasi; (7) keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (8) belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan. Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat, karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang, wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang. Demikian halnya dengan pembangunan antara desa dan kota yang semakin terbentuk adanya kesenjangan dan berujung pada perbedaan sosial ekonomi. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di perdesaan umumnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain dari pada itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah perdesaan. Akibatnya, peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perdesaan (trickling down effects), justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan perdesaan (backwash effects). B. Rumusan Masalah Permasalahan dalam tulisan ini difokuskan pada permasalahan seperti pada rumusan di bawah ini: 1. Bagaimana pembangunan desa dan kota? 2. Bagaimana bentuk hubungan antara desa dan kota? BAB II PEMBAHASAN Tulisan ini akan fokus kepada masalah pembangunan desa dan kota, serta hubungan desa dan kota. A. Pembangunan Desa dan Kota 1. Permasalahan pembangunan Pembangunan antara desa dan kota pada prinsipnya adalah pola pembangunan yang harus dilakukan secara bersinergi dengan pertimbangan bahwa: a. Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang. Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, namun pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan dalam wilayah. b. Kurang Berfungsinya Kota-kota sebagai motor penggerak (engine of development) dalam Pengembangan Wilayah. Pembangunan perkotaan dan perdesaan ini saling terkait membentuk suatu sistem pembangunan wilayah yang sinergis. c. Rendahnya Pemanfaatan Rencana Tata Ruang Sebagai Acuan Koordinasi Pembangunan Lintas Sektor dan Wilayah. Pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah saat ini masih sering dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berkelebihan sehingga menurunkan kualitas (degradasi) dan kuantitas (deplesi) sumber daya alam dan lingkungan hidup. d. Sistem Pengelolaan Pertanahan Yang Masih belum Optimal. Pengelolaan pertanahan secara transparan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Penataan ruang. Pada saat ini masih terdapat berbagai masalah dalam pengelolaan pertanahan, antara lain: (a) sistem pengelolaan pengelolaan tanah yang belum efektif dan efisien; (b) belum terwujudnya kelembagaan pertanahan yang efisien dalam memberikan pelayanan pertanahan kepada masyarakat; (c) masih rendahnya kompetensi pengelola pertanahan; (d) masih lemahnya penegakan hukum terhadap hak atas tanah yang menerapkan prinsip-prinsip yang adil, transparan, dan demokratis. 2. Usaha penyelesaian kesenjangan pembangunan desa dan kota Kesenjangan pembangunan desa dan kota dapat diselesaikan dengan melakukan beberapa cara, yaitu: a. Mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’ yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi. b. Meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan selain dengan pemberdayaan masyarakat secara langsung melalui skema dana alokasi khusus. c. Mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking, sehingga kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan provinsi tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). d. Menyeimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota dan desa. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi (forward and backward linkages) sejak tahap awal mata rantai industri, tahap proses produksi antara, tahap akhir produksi (final process), sampai tahap konsumsi (final demand) di masing-masing kota sesuai dengan hirarkinya. Hal ini perlu didukung, antara lain, peningkatan aksesibilitas dan mobilitas orang, barang dan jasa antar kabupaten. e. Meningkatkan percepatan pembangunan kota-kota kecil di luar Kota Jambi, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai ‘motor penggerak’ pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya, maupun dalam melayani kebutuhan warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan seseuai dengan tipologi kota masing-masing. f. Mendorong peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan ‘backward linkages’ dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’. g. Mengoperasionalisasikan ’Rencana Tata Ruang’ sesuai dengan hirarki perencanaan (RTRWNasional, RTRW-Pulau, RTRW-Provinsi, RTRW-Kabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah. h. Merumuskan sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. B. Hubungan Desa dan Kota Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain, bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam memnuhi kebutuhan warganya dalam pemenuhan kebuthan pokok seperti sandan, pangan dan papan. Desa juga merupakan sumber tenaga kerja bagi jenis pekerjaan tertentu di kota yang tidak dapat diselesaikan oleh warga kota seperti buruh bangunan maupun pekerjaan kasar lainnya. Hubungan desa dan kota cenderung terjadi secara alami dan saling mempengaruhi. Yang kuat akan menang karena itu dala hubugan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan. Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa, cara, yaitu: 1. Ekspansi kota ke desa; atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam. 2. Invasi kota; pembangunan kota baru seperti Batam dan kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap dan hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan. 3. Penetrasi kota ke desa; masuknya produk, perilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi. 4. Ko-operasi kota-desa; pada umumnya berupa pengangklatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut semuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hamper tidak pernah terjadi oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota. Salah satu bentuk hubungan desa dan kota adalah urbanisasi. Pengertian urbanisasi adalah suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan (Soekanto, 1989:123). Proses urbanisasi boleh dikata terjadi di seluruh dunia, baik pada negara-negara yang sudah maju maupun yang relatif belum. Hubungan urbanisasi dengan dinamika pedesaan lebih disebabkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kota dan desa. Kota dianggap memiliki daya tarik yang cukup besar, misalnya kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa karena sistem pembagian kerja yang tegas dan punya batas-batas nyata. Selain itu dari segi ekonomi, warga desa menganggap bahwa kehidupan ekonomi di kota jauh lebih menjanjikan daripada kehidupan ekonomi di desa. Dengan kata lain urbanisasi dapat terjadi karena adanya ketidakpuasan dari perolehan kehidupan warga desa, sehingga menginginkan adanya perubahan yang signifikan dengan pindah ke kota. Perpindahan ke kota (urbanisasi) membawa dampak terhadap kemiskinan di perkotaan cukup besar. Penduduk desa yang melakukan urbanisasi umumnya tidak melengkapi diri dengan pengetahuan ataupun pendidikan yang cukup memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang layak serta mental yang kuat. Dengan demikian penduduk desa tersebut cenderung kurang mampu untuk bersaing dengan orang lain yang memeiliki kelebihan dari segi keterampilan ataupun pendidikan. Ketidakmampuan tersebut menjadikan penduduk desa tidak mampu untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang memadai sehingga secara perlahan namun pasti, kemiskinan menjadi fenomena selanjutnya sebagai wujud dari kegagalan tersebut di atas. Meskipun demikian setiap tahun jumlahnya terus bertambah karena penduduk yang melakukan urbanisasi juga bertambah dengan tujuan yang sama. Urbanisasi terjadi karena ada faktor pendorong (push factor) pada desa dan faktor penarik (pull factor) bagi kota. Faktor-faktor pendorong yang dimaksud adalah: 1. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian. 2. Teresaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industry modern. 3. Penduduk desa, terutama kaum muda merasa tertekan oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton. 4. Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan. 5. Kegagalan panen yang disebebabkan oleh berbagai hal. Seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain di kota. Sedangkan yang menjadi faktor penarik adalah: 1. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa di kota banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. 2. Di kota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industry kerajinan. 3. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan lebih banyak di kota dan lebioh mudah didapat. 4. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya. 5. Kota memberikan kesempatan untuk menghinarkan diri dari kontrol sosial yang ketat untuk mengangkat diri dari posisi sosialyang rendah. Melalui pennnnnnnihat bahwa gerak penduduk sedang meningkat terutama territorial mobility yang mengandung makna gerak spasil, fisik atau geografis dengan berbagai tujuannya. Namun sebenarnya makna utamanya adalah untuk kepentingan peningkatan ekonomi dan perbaikan tingkat pendidikan. Gerak penduduk tersebut selalu berlangsung dari desa ke kota, jarang sebaliknya. Dengan penjelasan wam pun mudah dipahami bahwa permasalahan ini karena di kota lebih unggul dibandingkan dengan daerah pedesaan dalam berbagai prasarana dan kesempatan untuk pengembangan diri. Sektor pendidikan di pedesaan sangat jauh dari memadai untuk memperoleh keahlian dan keterampilan yang diperlukan dalam dunia ekonomi modern. Karena itu orag-orang desa berbondong-bondong pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan. Setelah menyelesaikan sekolah dalam meniti karir pekerjaan lebih lanjut mereka tidak pernah kembali ke tempat kelahiran mereka. Tidak sukar pula untuk diterka bahwa lapangan kerja yang ada di pedesaan tidak menyediakan tempat bagi keahlian dan keterampilan yang mereka dapatkan dari sekolah dan desa juga belum dapat memberikan pendapatan yang mencukupi. Sesungguhnya motivasi untuk melanjutkan pendidikan yang lebih baik di perkotaan tampaknya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap gerak penduduk pedesaan. Perbaikan pendidikan bukanlah factor determinan tetapi korelasi positif antara gerak pendduk dengan upaya mengembangkan pendidikan hanya berlaku pada lapisan atas petani desa. Sebaliknya bagi petani-petani berlahan sempit (gurem) serta petani tuna kisma (tidak punya tanah), motif ekonomilah yang merupakan dasar utama perpindahan mereka ke kota (Abustam, 1989). Dengan dorongan ekonomi sebagai variable utama maka pengertian gerak penduduk pedesaan itu tidak dapat dibatasi sekedar perpindahan tempat tinggal. Dalam konteks ini, dalam konsep gerak penduduk itu inherent berarti suatu pencarian dan atau perindahan pekerjaan. Orang berpindah bukan karena didorong keinginan mencari suasana baru atau menambah pengalaman namun merupakan akibat dari adanya tekanan ekonomi di daerah asalnya yang tidak dapat ditanggulanginya lagi. Untuk itulah mereka pindah tapi bukan pindah tempat tinggal, suatu perpindahan yang didorong untuk mencari kesempatan kerja di luar tempat tinggalnya menetap. Dalam konteks ini pula gerak penduduk dapat diidentifikasi dari segi waktu menetapnya, cenderung bukan suatu bentuk gerak penduduk permanen. Gerak penduduk yang didorong oleh upaya mencari peluang kerja ini dapat dikategorikan sebagai suatu gerak sirkulasi dan komutasi yang secara umum bercirikan jangka waktu pendek, repetitive dan siklikal. Seorang sirkulator tinggal di tempat tujuan untuk periode-periode waktu tertentu umpamanya seminggu, dua minggu, sebulan, atau dengan pola yang kurang teratur diselang seling dengan kembali dan tinggal di tempat asal untuk waktu-waktu tertentu pula. Sementara komutasi semata-mata merupakan gerak penduduk harian yaitu gerak berulang hampir setiap hari antara tempat tinggal dan tempat tujuan. Seorang komuter tidak mempunyai rencana menginap di daerah tujuan. Banyak penelitian mengenai gerak penduduk pedesaan di Jawa menemukan fenomena sirkulasi dan komutasi tersebut karena kaurangnya peluang usaha dan bekerja di desa, maka sebagian petani pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Tetapi tujuan kepindahan mereka itu tidak untuk menetap selamnya, tempat tinggal mereka tetap di pedesaan hanya tempat kerja mereka saja yang ada di kota. Di samping itu mereka sama sekali tidak menghentikan kegiata kerja di desa. Dalam masa-masa sibuk mengolah sawah mereka kembali mencurahkan tenaga di sektor pertanian dan menghentikan untuk sementara kegiatan kerja mereka di kota. BAB III PENUTUP Pembangunan antara desa dan kota pada prinsipnya adalah pola pembangunan yang harus dilakukan secara bersinergi dengan pertimbangan bahwa: (1) wilayah perbatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang, (2) kurang berfungsinya kota-kota sebagai motor penggerak (engine of development) dalam pengembangan wilayah, (3) rendahnya pemanfaatan rencana tata ruang sebagai acuan koordinasi pembangunan lintas sektor dan wilayah, (4) sistem pengelolaan pertanahan yang masih belum optimal. pengelolaan Cara kota merubah atau mempengaruhi desa adalah melalui: (1) ekspansi kota ke desa; atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan, (2) invasi kota; pembangunan kota baru seperti Batam dan kota baru sekitar Jakarta yang dapat merubah perdesaan menjadi perkotaan, (3) penetrasi kota ke desa melalui masuknya produk, perilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi serta (4) ko-operasi kota-desa. Hubungan kota dengan desa melalui urbanisasi terjadi karena ada faktor pendorong (push factor) pada desa dan faktor penarik (pull factor) bagi kota. Faktor-faktor pendorong yang dimaksud adalah: (1) bertambahnya penduduk, (2) terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern, (3) penduduk desa, terutama kaum muda merasa tertekan oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan cara hidup monoton, (4) tidak banyak kesempatan menambah ilmu pengetahuan (5) kegagalan panen sehingga memaksa mencari penghidupan lain di kota. Sedangkan yang menjadi faktor penarik adalah: (1) penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa di kota lebih mudah mendapatkan pekerjaan, (2) di kota lebih banyak kesempatan mengembangkan usaha kerajinan, (3) pendidikan lanjutan lebih banyak di kota dan lebih mudah didapat, (4) kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya, (5) kota memberikan kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah. DAFTAR PUSTAKA Abustam, M. Idrus. 1989. Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial. UI Press: Jakarta. Abustam, M. Idrus dan Idham Irwansyah. 2010. Komunitas Perdesaan, Budaya Kemiskinan dan Pendidikan Orang Dewasa. Badan Penerbit UNM: Makassar Sajogyo. 1991. Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pembangunan Desa. LP3ES: Jakarta. Sajogyo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pascasarajana IKIP Jakarta dengan BKKBN: Jakarta. Soerjono. Soekanto. 1989. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers: Jakarta.

TEORI LEWIS A. COSER

TEORI LEWIS A. COSER “MEMPERTAHANKAN STRUKTUR MELALUI KONFLIK” ------------------------------------------------------------------------------------ A. ASAL USUL Selama kurang lebih dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tekanan pada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik. Melihat kondisi ini ahirnya Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut yaitu memadukan teori struktur dengan teori konflik. Coser mengakui beberapa susunan struktural hasil persetujuan dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional structural, tetapi dia juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial. Teori ini muncul karena, para ahli teori kontemporer sering mengacuhkan analisa konflik sosial, namun dalam hal ini Coser memilih menunjukkan berbagai sumbangan konflik secara potensial positif untuk membentuk serta mempertahankan struktur. B. ISI TEORI Coser mengambil pembahasan konflik dari Simmel, mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi – kondisi dimana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negative akan memperlemah kerangka masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari aspek – aspek sebagai berikut: Ikatan kelompok dan pemeliharaan fungsi – fungsi konflik sosial Konflik dapat merupakan proses yang bersifat fundamental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik itu (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat struktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out-group. Di dunia internasional kita dapat melihat konflik, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja perundingan, mampu menetapkan batas – batas geografis nasional. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok – kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya. Konflik yang sedang berlangsung dengan out group dapat memperkuat identitas para anggota kelompok. Perang bertahun – tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identifikasi in group Negara Arab dan Israel, atau kaum Protestan dan Katolik di Irlandia Utara. Kelompok keagamaan, kelompok etnis, dan kelompok politik sering berhasil mengatasi berbagai hambatan karena konflik menjalankan fungsi positif dalam memperkuat identitas in – group. Katup Penyelamat ( Savety valve ) ialah salah satu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari berbagai kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang kacau. Coser ( 1956:41) melihat katup penyelamat demikian berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan” yang tanpa itu hubungan – hubungan di antara pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian praktek – praktek atau institusi katup penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur. Badan perwakilan mahasiswa atau panitia kesejahteraan dosen, dapat berfungsi sebagai katup penyelamat menyediakan sarana lewat mana para mahasiswa dan fakultas bisa mengungkapkan keluhan di universitas mereka. Kepala personalia suatu birokrasi perusahaan melakukan fungsi yang serupa. Biro usaha lebih baik adalah suatu organisasi “savety valve” yang mengurangi konflik antara perusahaan dan konsumen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan universitas, perusahaan atau sistem ekonomi. Lembaga “savety valve” itu, di samping menjalankan fungsi positif untuk mengatur konflik, juga mencakup masalah pembiayaan. Oleh karena itu katup penyelamat bukan direncanakan atau ditujukan untuk menghasilkan perubahan structural, maka masalah dasar dari konflik itu sendiri tidak terpecahkan. Tidak satupun badan perwakilan mahasiswa kebijakan di universitas. Mereka ada hanya dengan persetujuan universitas dan paling tidak sebagian, diatur serta dikendalikan oleh struktur yang lebih besar. Kepala personalia perusahaan itu pun tidak benar – benar mengetengahkan kepentingan para karyawan, dan “the better business bureau” itu juga tidak pula menganggap kebutuhan konsumen sebagai alasan utama bagi eksistensinya. Semuanya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengatur kemungkinan konflik dan secara tidak langsung merintangi perkembangan kelompok – kelompok yang sedang bertikai ( fakultas atau serikat buruh ) yang bisa menimbulkan perubahan melalui konflik itu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser (1956 : 48). Lewat katup penyelamat (safety-value) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi – kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, maka menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan – ledakan desktruktif. Konflik Realistis dan Non-Realistis Dalam membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik yang realistis dari yang tidak realistis. Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan – tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang diajukan pada obyek yang diajukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Para karyawan yang mengadakan pemogokan melawan manajemen merupakan contoh dari konflik realistis, sejauhmana manajemen memang berkuasa dalam hal kenaikan gaji serta berbagai keuntungan buruh lainnya. Konflik Non-Realistis adalah konflik yang berasal bukan dari tujuan – tujuan saingan yang antagonistis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak” (Coser 1959: 49) Dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam lewat ilmu gaib, sebagaimana hal dengan pengkambinghitaman yang sering terjadi dalam masyarakat yang telah maju. Banyak kelas indvidu kelas menengah dan kelas pekerja menunjukkan prasangka terhadap “orang – orang miskin penerima bantuan kesejahteraan sosial” (bumson welfare) melalui penyalahgunaan pajak pendapatan yang diperoleh dengan susah paya. Tetapi, yang sebenarnya terjadi ialah bahwa sebagian besar pajak tersebut lebih banyak jatuh ke tangan kaum kaya dalam bentuk subsidi atau secara tidak langsung melalui pemotongan pajak, daripada dalam bentuk bantuan kesejahteraan bagi kaum miskin. Oleh karena tidak mampu bermusuhan dengan kaum politisi, yang mungkin memperoleh berbagai subsidi pertanian, atau dengan perusahaan – perusahaan minyak, yang memperoleh depresiasi penurunan nilai minyak, seorang dari kelas menengah Amerika dapat menggunakan si penerima bantuan kesejahteraan sebagai obyek kemarahan menentang sistem pajak Amerika. Dengan demikian, konflik non realistis adalah hasil dari berbagai kekecewaan dan kerugian atau, seperti yang terlihat dalam contoh ini, sebagai pengganti antagonis realistis semua dan yang tidak terungkapkan. Permusuhan Dalam Hubungan – Hubungan Sosial yang intim Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Konflik bila berkembang dalam hubungan – hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realistis dan non realistis lebih sulit untuk dipertahankan. Coser (1956:62) menyatakan: “semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan – hubungan sekunder, seperti dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relative bebas diungkapkan. Walaupun berat bagaimanapun masalahnya ketika konflik meledak dalam hubungan – hubungan intim itu, Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai suatu petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda – tanda dari hubungan yang hidup, sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah – masalah yang menandakan kelak akan ada suasana yang benar – benar kacau. Hubungan antara Konflik dan Struktur Sosial sebagai berikut: Konflik cenderung disfungsional bagi struktur sosial dimana tidak ada atau tidak terdapat cukup toleransi dan institusional konflik. Intensitas konflik yang mengancam terjadinya “ penghancuran “ yang menyerang dasar – dasar kesepakatan sistem sosial, berhubungan dengan kekakuan struktur. Apa yang merupakan ancaman bagi keseimbangan struktur yang demikian bukan konflik itu sendiri, tetapi adalah kekakuannya yang membiarkan rasa permusuhan terakumulasi dan bila meledak dalam konflik cenderung disalurkan melalui satu jalur utama : perpecahan. C. KESIMPULAN Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel. Berdasarkan risalat konflik ( dari Simmel ) sebagai bentuk asosiasi, Coser membentangkan proposisi untuk menguji fungsionalitas konflik bagi kelompok sosial. Sebagaimana hal dengan usaha – usaha teoritis Simmel, usaha Coser juga merupakan upaya untuk membentuk teori yang parsial daripada teori menyeluruh tentang masyarakat. Oleh karena banyaknya analisa kaum fungsionalis yang melihat bahwa konflik adalah disfungsional bagi suatu kelompok, Coser mencoba mengemukakan kondisi – kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok – kelompok dan batas – batasnya terbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok lewat pengukuhan kembali identitas kelompok. Apakah konflik merupakan kohesi atau perpecahan kelompok tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana ketegangan ditangani, dan yang terpenting tipe struktur dimana konflik itu berkembang. Coser membedakan antara konflik in-group dan konflik dengan out-group, antara nilai inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran, antara konflik yang menghasilkan perubahan structural lawan konflik yang disalurkan lewat lembaga – lembaga katup penyelamat (savety-valve) dan antara konflik pada struktur berjaringan longgar dan struktur berjaringan ketat. Dia juga membedakan konflik realistis dengan non realistis. Keseluruhan butir – butir tersebut merupakan factor – factor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu proses sosial. Karya Coser tentang konflik itu bisa dengan lebih baik digambarkan sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism). Tanpa melepaskan konsep – konsep serta asumsi – asumsi fungsionalisme structural dia mencoba menambahkan dimensi konflik yang dinamis ke dalam teorinya. Bagi Coser perspektif integrasi dan perspektif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling bersaing. Sebagaimana dinyatakan, keduanya adalah “teori – teori parsial yang merangsang para pengamat pada satu atau lain perangkat data atau peristiwa yang berhubungan dengan penjelasan teoritis yang menyeluruh …. ( Dengan demikian ) konflik dan consensus, integrasi dan perpecahan adalah proses pundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti”. SUMBER: Poloma, M. Margaret.2007. Sosiologi Komtemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada DAFTAR PUSTAKA Poloma, M. Margaret.2007. Sosiologi Komtemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

PENGUATAN SINERGITAS FUNGSIONAL ANTARA GURU DENGAN SISWA DALAM PROSES PENDIDIKAN

PENGUATAN SINERGITAS FUNGSIONAL ANTARA GURU DENGAN SISWA DALAM PROSES PENDIDIKAN A. Kesenjangan Antara Guru dan Siswa Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik. Sementara anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur paling vital di dalam proses belajar-mengajar. Sebab seluruh proses, aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu melibatkan keberadaan pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana. Hal itu sudah menjadi syarat mutlak atas terselenggaranya suatu kegiatan pendidikan. Dengan mendasarkan pada pengertian bahwa pendidikan berarti usaha sadar dari pendidik yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik, terkandung suatu makna bahwa proses yang dinamakan pendidikan itu tidak akan pernah berlangsung apabila tidak hadir pendidik dan peserta didik dalam rangkaian kegiatan belajar mengajar. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan pilar utama terselenggaranya aktivitas pendidikan. Idealnya aktivitas pendidikan adalah ingin memberdayakan atau membimbing siswa agar memiliki sikap dan perilaku yang baik. Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan dari seberapa jauh guru mampu mengeliminir atau menyelesaikan problem pembelajaran. Semakin sedikit problem pembelaran yang muncul selama proses pembelajaran akan semakin besar peluang keberhasilan belajar siswa, begitu sebaliknya. Sedikitnya ada tiga macam bentuk permasalahan pembelajaran: 1. Bersifat metodologis, yaitu problem yang terkait dengan upaya atau proses pembelajaran yang menyangkut masalah kualitas penyampaian materi, kualitas interaksi antara guru dengan siswa, kualitas pemberdayaan sarana dan elemen dalam pembelajaran. Materi akan mudah diterima dan dipahami siswa jika guru tidak memiliki problem metodologis dalam pembelajaran. Konsekuensinya guru harus memiliki kemampuan seni dalam menyampaikan materi pelajaran, mengetahui secara tepat kapan dan bagaimana menggunakan metode pembelajaran, serta memiliki kemampuan memilih dan menggunakan sarana pembelajaran. 2. Bersifat kultural yaitu problem yang berkaitan dengan karakter atau watak seorang guru dalam mensikapi terhadap proses pembelajaran. Problem ini muncul dari cara pandang atau pemahaman guru terhadap peran guru dan makna pembelajaran. Guru yang merasa sosok figur yang paling pintar, paling cerdas, harus ditiru serta pemahaman bahwa pembelajaran merupakan lahan doktrin akan berimplikasi kepada salahnya proses pembelajaran yang akhirnya berujung pada gagalnya proses belajar siswa. 3. Bersifat sosial yaitu problem yang terkait dengan hubungan dan komunikasi antara guru dengan elemen lain yang ada di luar guru, seperti adanya kekurangharmonisan hubungan antara guru dan siswa, antara pimpinan sekolah dengan siswa, bahkan di antara sesama siswa. Ketidakharmonisan antara guru dan siswa bisa disebabkan akibat pola atau sistem kepemimpinan yang kurang demokrasi atau kurang memperhatikan masalah masalah-masalah kemanusiaan. Akhir dari permasalahan ini membawa konflik antara guru dan siswa. Ketidakpuasan siswa menumbuhkan perasaan tidak suka kepada guru. Di masa lampau, guru cenderung tampil sebagai “pemenang” dalam konflik ini. Itulah mengapa, sejumlah siswa kemudian dijatuhi sanksi berupa hukuman yang ada kalanya bersifat fisik. Kini, kemajuan teknologi turut serta mewarnai keberlanjutan konflik guru-murid. Dengan adanya jejaring sosial Facebook, misalnya, konflik guru-murid bisa tiba-tiba meletus. Bahkan, konflik itu mengonjang-ganjing dunia pendidikan. Di SMA Negeri IV Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, empat orang siswa dijatuhi sanksi. Bahkan, sanksi itu berupa pemacatan terhadap sebagian siswa. Gara-garanya, para siswa menghina dan melecehkan guru mereka melalui penulisan dan komentar status di Facebook. Sang guru meradang dan lalu minta para siswa itu dipecat. Hingga berita ini ditulis, konflik guru-siswa di SMA Negeri IV Tanjung Pinang itu belum terselesaikan. Sementara di Jember, Jawa Timur, seorang mahasiswa bernama Wahyu dituduh mencemarkan nama baik. Penyebabnya, Wahyu mengumpat dan menulis kalimat tidak senonoh melalui status di Facebook. Sasaran pengumpatan adalah Wahyu, instruktur dan pengelola Jember Marching Band (JMB), Tri Basuki. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jember, Kamis (18 Feb. 2010), jaksa Lusiana mendakwa Wahyu dengan Pasal 310 Ayat 2 atau Pasal 311 Ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman empat tahun penjara. Perseteruan ini bermula dari kekesalan Wahyu terhadap Tri Basuki berkenaan dengan pinjam meminjam penyelaras musik. Seseorang yang meminjam penyelaras musik pada Wahyu dikembalikan pada Tri Basuki. Wahyu kesal lantaran Tri tak mengembalikan penyelaras musik pada Wahyu. Pada 28 Agustus 2009 Wahyu menumpahkan kekesalannya dengan mengumpat di Facebook. Ternyata, salah seorang anggota JMB mencetak halaman Facebook tersebut dan memperlihatkan kepada Tri. Dari sini Tri berang dan memperkarakan kasus pengumpatan itu hingga ke pengadilan. Dalam berbagai hal, seorang guru dapat mengalami situasi di mana komunikasi dengan siswa menjadi tidak efektif. Gordon dalam Santrock (2008) mengemukakan lima hal yang dapat menjadi rintangan dalam menjalankan komunikasi verbal yang efektif, yaitu kritik, pelabelan (membri julukan), menasihati, mengatur-atur, dan ceramah moral. Mengevaluasi dengan memberikan kritik kepada siswa dapat mengurangi efektivitas komunikasi, sehingga mengkritik siswa dapat dilakukan dengan meminta siswa evaluasi diri, misalnya penyebab nilai ujiannya yang buruk. Julukan atau pelabelan biasanya menjadi cara untuk merendahkan siswa dengan menggunakan kata-kata hinaan, sehingga guru harus mengontrol perkataannya dan perkataan murid agar dapat saling memahami perasaan satu sama lain. Menasihati yang dimaksud dalam hal ini adalah merendahkan orang lain lalu memberi nasihat solusi, dan mengatur-atur dapat terjadi dengan memerintahkan orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan, sehingga dapat menimbulkan resistensi. Sedangkan ceramah moral yang bersifat mengkhotbah bagi siswa dapat meningkatkan rasa bersalah dan kegelisahan pada diri siswa. Dengan demikian, seorang guru lebih baik menggunakan bahasa yang tidak terlalu menyalahkan siswa. Secara teknis, agar problem dalam pembelajaran dapat dieliminir, guru perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Guru harus benar-benar memiliki persiapan yang optimal sebelum mengajar. Guru yang benar-benar memiliki persiapan yang matang akan mudah melaksanakan variasi selama pembelajaran yang akhirnya tidak mudah menimbulkan kejenuhan bagi siswa. 2. Guru tidak cukup menguasai materi secara formal, tetapi harus menguasai materi dari aspek pengembangan (pengayaan). 3. Penyampaian materi tidak selalu dikemas dalam suasana formal dalam kelas. Metode yang bernuansa bermain atau wisata dapat dilakukan untuk semua mata pelajaran. 4. Tampilan guru yang menakutkan, sok pintar, sering merendahkan siswa segera dihilangkan. Sifat ini bisa menimbulkan kebencian kepada siswa sehingga sulit menerima materi dari seorang guru yang dibenci. 5. Jangan segan-segan memberikan pujian kepada siswa yang memang telah melakukan sesuatu yang baik meskipun sesuatu itu tidak berarti bagi guru. 6. Guru harus dapat mengurangi kecaman atau kritikan yang mematikan motivasi siswa. B. Hubungan Fungsional Antara Guru dan Siswa Pendidik dan peserta didik merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah aktivitas yang terbingkai sebagai dunia pendidikan. Masing-masing posisi yang melekat pada kedua pihak tersebut mewajibkan kepada mereka untuk memainkan seperangkat peran berbeda sesuai dengan konstruksi struktural lingkungan pendidikan yang menjadi wadah kegiatan mereka. Antara pendidik dan peserta didik terikat oleh suatu tata nilai terpola yang menopang terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan posisi yang diperankan. Semenjak penyusunan perencanaan pengajaran sampai kepada evaluasi pengajaran telah melibatkan proses hubungan timbal balik antara guru dan murid baik secara langsung maupun tidak langsung demi mencapai tujuan kegiatan. Tentu saja melihat ciri khas tujuan tersebut mengindikasikan bahwa iklim dan orientasi belajar - mengajar selalu mengupayakan terjalinnya transformasi nilai substansi pendidikan agar sampai pada level pemahaman para murid dengan indikasi terpenuhinya kriteria peningkatan kemampuan pribadi baik pada ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Selain itu proses perembesan nilai dominan tersebut tentunya menyebar dan mendapat reaksi aktif dari para peserta didik dengan beragam kemampuan, identitas, karakter individu maupun kelompok serta unsur sosial lain yang ikut terlibat dalam atmosfir orientasi edukatif rupanya berhasil menciptakan keragaman pola hubungan beserta aneka ragam hasil dari interaksi belajar mengajar antara guru dan murid di dalam lingkungan belajarnya. Semua proses itu merupakan konsekuensi logis atas terbentuknya dunia sekunder aktivitas sekelompok manusia bernama lingkungan pendidikan yang di dalamnya mencakup kompleksitas aktivitas individu, kelompok dan sub-kultur lain yang ikut terlibat. Sehingga apapun yang terlaksana juga mengikutsertakan jaring-jaring nilai, peran, status, hak dan kewajiban serta implikasi-implikasi sosial lainnya. Sebagai salah satu sistem organisasi aktivitas manusia, dunia pendidikan memiliki perangkat-perangkat sistemik yang mengikutsertakan unsur internal maupun eksternal guna membantu upaya pencapaian tujuan kelembagaannya. Dalam dimensi sosial, lembaga pendidikan merupakan bagian dari pranata sistem sosiokultural masyarakat luas yang secara spesifik bertugas memelihara kelangsungan hasil kerja peradaban masyarakat agar dirangkai menjadi ragam aktivitas belajar-mengajar demi menjamin kelestarian produk masyarakat serta kualitas manusia-manusia penerus kebudayaan. Hakikat hubungan pendidikan dengan masyarakat ini mempengaruhi eksistensi serta dinamika antarkomponen dalam wilayah internal lembaga pendidikan. Sehingga untuk hal yang lebih khusus, hubungan guru dan murid tidak lepas dari jaring pengaruh komponen lain di wilayah kelembagaanya juga kekuatan-kekuatan eksternal yang secara laten ikut terlibat aktif mewarnai dinamika interaksi guru dan murid. Sedikit ilustrasi tersebut dapat menegaskan bahwa makna kerja guru terhadap murid dalam ruang pendidikannya bukanlah sekadar aktivitas sederhana yang terisolasi dari konteks pembentuk serta keanekaragaman implikasi sosialnya. Menyadari hal demikian, kiranya dapat dipahami bahwa aktivitas belajar-mengajar antara guru dengan murid merupakan salah satu gejala social yang memiliki keterkaitan erat dengan rangkaian latar belakang serta konsekuensi sosialnya. Oleh sebab itu, dalam kerangka tersebut segi-segi hubungan guru dan murid menjadi salah satu topik bahasan dalam sosiologi pendidikan. Dalam hal ini, kacamata sosiologi pendidikan akan meneropong segala hal yang berkaitan dengan interaksi edukatif antara guru dan murid dalam konteks sosialnya. Proses belajar-mengajar akan senantiasa merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dengan siswa sebagai subjek pokoknya. Dalam proses interaksi antara siswa dan guru, dibutuhkan komponen-komponen pendukung seperti antara lain telah disebut pada ciri-ciri interaksi edukatif. Komponen-komponen tersebut dalam berlangsungnya proses belajar-mengajar tidak dapat dipisah-pisahkan. Perlu ditegaskan bahwa proses belajar-mengajar yang dikatakan sebagai proses teknis ini, juga tidak dapat dilepaskan dari segi normatifnya. Segi normatif inilah yang mendasari proses belajar mengajar. Sehubungan dengan uraian di atas, maka interaksi edukatif yang secara spesifik merupakan proses atau interaksi belajarmengajar itu, memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan bentuk interaksi lain. Djamarah (1980) merinci ciri-ciri interaksi belajar mengajar tersebut yaitu: 1. Interaksi belajar-mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud interaksi belajar-mengajar itu sadar tujuan, dengan menempatkan siswa sebagai pusat perhatian. Siswa mempunyai tujuan, unsur lainnya sebagai pengantar dan pendukung. 2. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncana, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Agar dapat mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melakukan interaksi perlu adanya prosedur atau langkah-langkah sistematis dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang satu dengan yang lain, mungkin akan membutuhkan prosedur dan desain yang berbeda pula. Sebagai contohmisalnya tujuan pembelajaran agar siswa dapat menunjukkan letak Kota New York, tentu kegiatannya tidak cocok kalau disuruh membaca dalam hati, dan begitu seterusnya. 3. Interaksi belajar-mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal ini materi harus didesain sedemikian rupa sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Sudah barang tentu dalam hal ini perlu memperhatikan komponenkomponen yang lain, apalagi komponen anak didik yang merupakan sentral. Materi harus sudah didesain dan disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi belajar-mengajar. 4. Ditandai dengan adanya aktivitas siswa. Sebagai konsekuensi bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajarmengajar. Aktivitas siswa dalam hal ini, baik secara fisik maupun secara mental aktif. Inilah yang sesuai dengan konsep CBSA. Jadi tidak ada gunanya guru melakukan kegiatan interaksi belajar-mengajar, kalau siswa hanya pasif saja. Sebab para siswalah yang belajar, maka merekalah yang harus melakukannya. 5. Dalam interaksi belajar-mengajar, guru berperan sebagai pembimbing. Dalam peranannya sebagai pembimbing ini guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses belajar-mengajar, sehingga guru akan merupakan tokoh yang akan dilihat dan akan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. Guru (“akan lebih baik bersama siswa”) sebagai designer akan memimpin terjadinya interaksi belajar-mengajar. 6. Di dalam interaksi belajar-mengajar membutuhkan disiplin. Disiplin dalam interaksi belajar-mengajar ini diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh semua pihak dengan secara sadar, baik pihak guru maupun pihak siswa. Mekanisme konkrit dari ketaatan pada ketentuan atau tata tertib ini akan terlihat dari pelaksanaan prosedur. Jagi langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah digariskan. Penyimpangan dari prosedur, berarti suatu indikator pelanggaran disiplin. 7. Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok siswa), batas waktu menjadi salah-satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan itu harus sudah tercapai. Di samping beberapa ciri seperti telah diuraikan di atas, unsur penilaian adalah unsur yang amat penting. Dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan maka untuk mengetahui apakah tujuan proses belajar- mengajar (interaksi edukatif) sudah atau belum, perlu diketahui dengan kegiatan penilaian.. (Sudjarwo, 1993) menunjukan bahwa siswa yang memiliki frekuensi tinggi berhubungan dengan gurunya, memiliki kesempatan yang banyak untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajarinya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan interaksi sosial dengan guru akan mengakibatkan berpeluang besar untuk membesarkan medan fiducary. Atas dasar itu, maka proses interaksi sosial yang bermuatan pendidikan akan terjadi dengan munculnya proses sosialisasi. Termasuk dalam proses ini meliputi; a. Kerjasama Kerjasama yang diberi makna oleh Soekamto (1990:79) sebagai suatu usaha bersama antara perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kondisi ini jika dilihat di dunia pendidikan,maka kegiatan kokurikuler merupakan media untuk membangun hubungan kerja sama antara guru dengan murid dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. b. Akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti ( Soekamto,1990:82 ) yaitu untuk menunjukkan pada suatu keadaan, dan menunjukan pada suatu proses. Akomodasi yang menunjukan pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara para pelaku interaksi dengan nilai-nilai sosial atau norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses menunjukan pada usaha-usaha pelaku interaksi untuk meredakan sutu pertentangan karena ketidak sepahaman, guna mencapai suatu kestabilan. Akomodasi pada paparan ini lebih mengacu kepada akomodasi dalam bentuk proses. Melalui kegiatan kokurikuler diharapkan terbentuk saling pengertian antar guru dengan murid sesuai dengan posisi masing-masig.Pertentangan karena ketidak tahuan keadaan diri pada masing-masing pelaku interaksi. Dapat terjembatani oleh karena adanya kegiatan kokurikuler antara guru dengan murid. Dengan demikian kegiatan kokurikuler sbenarnya memiliki nilai positif jika dilihat dari aspek proses Belajar- Mengajar.Karena mendudukan guru dan murid pada gari sejajar. Maksudnya adalah proses belajar-mengajar adalah proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan nak didik sehingga terjadi proses belajar.Proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan murid adalah pekerjaan pendidikan yang cukup sulit. Guru dituntut untuk selalu jeli dalam rangkamempilah,lingkungan yang bagaimana yang harus diciptakan sehingga kemudian akan menjadikan proses pendidikan berlangsung. Proses penciptaan lingkungan sendiri sudah harus dikaitkan dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan atau ditinggalkan sama sekali.Mengelola keduanya untuk dapat dikaitkan dengan murid sehingga terjadi proses sosialisasi nilai. Proses sosialisasi nilai-nilai edukatif akan sangat besar peluangnya untuk terjadi jika dilaksanakan dengan pola kokurikuler.Oleh sebab itu kegiatan kokurikuler sangat menunjang untuk dapat menjadikan program pengairan diterima oleh murid. Dengan demikian itu wujud pengorganisiran lingkungan menjadi bermakna secarasosiologis apabila ada manfaat yang dapat diambi oleh siswa. Manfaat tersebut untukjangka panjang akan membawa murid mencapai kedewasaan yang mandiri. Uraian di atas menjelaskan bahwa penguatan sinergitas hubungan funtsional antara guru dengan siswa dapat dilihat pada latar belakang tugas guru sebagai pengajar dan pendidik. Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. Selain itu juga ada tugas kemanusiaan juga menjadi salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetiakawanan sosial. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilannya tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para siswanya. Para siswa akan enggan mengahadapi guru yang tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mengerti bila menghadapi guru. DAFTAR PUSTAKA Djamarah, S.B. dan Aswan Z. 1980. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Santrock, J.W. 2008. Psikologi Pendidikan.(Terjemahan) Edisi Kedua, Penerjemah Tri Wibowo. B.S. Jakarta: Kencana, 2007. Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/21/02403069/mengumpatlah.di.facebook.kau.kutangkap
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 diubah, dan menambah 2 (dua) angka baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: �Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. 2. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 4. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 5. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos. 6. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. 7. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. 8. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan. 9. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 10. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di bidang kehutanan; w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; atau y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. (2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. 3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). 4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; atau g. penukaran, Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).� 5. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: �Pasal 9 Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).� 6. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 10A yang berbunyi sebagai berikut: �Pasal 10A (1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini. (2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan. (3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.� 7. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) diubah serta menambah 2 (dua) ayat baru menjadi ayat (1a) dan ayat (6a), sehingga berbunyi sebagai berikut: �Pasal 13 (1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut: a. Transaksi Keuangan Mencurigakan; b. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. (1a) Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK. (2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. (3) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan. (4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan. (5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK. (6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6a) Penyedia Jasa Keuangan dapat dikecualikan untuk tidak membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pengecualian diberikan. (7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala PPATK.� 8. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: �Pasal 15 Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.� 9. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (5) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK. (3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5 (hari) kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus memuat rincian mengenai identitas orang yang membuat laporan. (5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. 10. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 17A, yang berbunyi sebagai berikut: �Pasal 17A (1) Direksi, pejabat, atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. (2) Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun. (3) Direksi, pejabat atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan, pejabat atau pegawai PPATK serta penyelidik/penyidik yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).� 11. Penjelasan Pasal 25 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 12. Ketentuan Pasal 26 diubah dengan menambah huruf baru yaitu huruf i, sehingga berbunyi sebagai berikut: �Pasal 26 Dalam melaksanakan fungsinya, PPATK mempunyai tugas sebagai berikut: a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan Undang-Undang ini; b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan; c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan; d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini; e. membuat pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukannya dalam Undang-Undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan; f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan; h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan; i. memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.� 13. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: �Pasal 29 (1) (2) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan. Anggaran Tahunan PPATK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.� 14. Menambah ketentuan baru sesudah Pasal 29 yaitu Pasal 29A dan Pasal 29B, yang berbunyi sebagai berikut: �Pasal 29A Pengaturan kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, tunjangan jabatan, tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pejabat dan pegawai PPATK ditetapkan dengan Keputusan Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.� �Pasal 29B Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Presiden dapat membentuk Komite Koordinasi Nasional atas usul Kepala PPATK.� 15. Ketentuan Pasal 33 ayat (4) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: �Pasal 33 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa. (2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. (3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa; c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan d. tempat Harta Kekayaan berada. (4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh: a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik; b. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum; c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.� 16. Ketentuan BAB VIII diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: �BAB VIII BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 44 (1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas. (3) Permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari dan ke negara lain disampaikan kepada dan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan perundang-undangan. (4) Menteri dapat menolak permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan oleh negara lain tersebut dapat mengganggu kepentingan nasional atau permintaan tersebut berkaitan dengan penuntutan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Pasal 44A (1) Kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 antara lain meliputi: a. pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang, termasuk pelaksanaan surat rogatori; b. pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan lain; c. identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang; d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan; e. upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil kejahatan; f. mengusahakan persetujuan orang-orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta; g. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian kerja sama timbal balik yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam rangka melakukan kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, pengambilan keterangan, atau hal-hal lain yang sesuai dengan ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang ini. (3) Barang bukti, pernyataan, dokumen, atau catatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.� 17. Di antara Bab VIII dan Bab IX ditambah 1 (satu) bab baru menjadi Bab VIIIA tentang Ketentuan Lain, yang berisi 1 (satu) pasal sehingga berbunyi sebagai berikut: �BAB VIIIA KETENTUAN LAIN Pasal 44B Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK dapat melaksanakan ketentuan tersebut menurut Undang-undang ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan.� Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 108 ________________________________________ PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antarnegara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan ini di samping mempunyai dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional maupun internasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil tindak pidana (money laundering). Berkenaan dengan itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi: a. Cakupan pengertian Penyedia Jasa Keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa Keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk Penyedia Jasa Keuangan baru yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002. b. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih, atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus, karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh. d. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain: - Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; - Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; - Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, yang semula 14 (empat belas) hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak. f. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. g. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balik merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral namun regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang terorganisir. Namun demikian pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus tetap memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional dan terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Berdasarkan ketentuan bahwa �tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia�, maka Undang-Undang ini dalam menentukan Hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 3 Ayat (1) Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Angka 4 Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 9 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 10A Ayat (1) Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia jabatan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan �sumber keterangan� dalam ketentuan ini adalah Penyedia Jasa Keuangan yang menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK. Kewajiban untuk merahasiakan sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan di persidangan pengadilan dimaksudkan untuk mendorong Penyedia Jasa Keuangan melaksanakan kewajiban penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Pada dasarnya Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai berikut: 1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas; 2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran; 3) aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan agar Penyedia Jasa Keuangan dapat sesegera mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku pencucian uang dapat segera dilacak. Unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 huruf a, huruf b, dan huruf c. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan �transaksi lainnya� adalah transaksi-transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket. Selain berdasarkan jenis transaksi, Kepala PPATK menetapkan transaksi lainnya yang dikecualikan berdasarkan besarnya jumlah transaksi, bentuk Penyedia Jasa Keuangan tertentu, atau wilayah kerja Penyedia Jasa Keuangan tertentu. Pemberlakuan pengecualian tersebut dapat dilakukan baik untuk waktu yang tidak terbatas (permanen) maupun untuk waktu tertentu (temporer). Ayat (6) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar data atau informasi mengenai transaksi yang dikecualikan tersebut dapat diteliti atau diperiksa oleh PPATK untuk keperluan analisis. Rincian daftar transaksi yang wajib dibuat dan disimpan pada dasarnya sama dengan transaksi tunai yang seharusnya dilaporkan kepada PPATK. Daftar dapat dibuat dalam bentuk elektronik sepanjang dapat dijamin bahwa data atau informasi tersebut tidak mudah hilang atau rusak. Ayat (6a) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Penyedia Jasa Keuangan tertentu yang untuk sementara waktu belum dapat memenuhi ketentuan ini. Pengecualian dapat diberikan baik dengan atau tanpa permintaan dari Penyedia Jasa Keuangan. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 15 Yang dimaksud dengan �dituntut secara perdata� antara lain adalah tuntutan ganti rugi. Yang dimaksud dengan �dituntut secara pidana� antara lain tuntutan pencemaran nama baik. Angka 9 Pasal 16 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 17A Ayat (1) Ketentuan ini dikenal sebagai anti-tipping off. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar pengguna jasa keuangan tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit penegak hukum untuk melakukan pelacakan terhadap pengguna jasa keuangan dan Harta Kekayaan yang bersangkutan. Ayat (2) Ketentuan anti-tipping off berlaku pula bagi pejabat atau pegawai PPATK serta penyelidik/penyidik untuk mencegah pengguna jasa keuangan yang diduga sebagai pelaku kejahatan melarikan diri dan harta kekayaan yang bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 25 Ayat (3) Kerja sama dalam ayat ini dapat dilakukan dalam bentuk pertukaran informasi, bantuan teknis, pendidikan dan/atau pelatihan. Angka 12 Pasal 26 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 29 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 29A Cukup jelas. Pasal 29B Cukup jelas. Angka 15 Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah, atau Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk. Angka 16 Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan �ketentuan peraturan perundang-undangan� adalah Undang-Undang ini, undang-undang mengenai hukum acara pidana, undang-undang mengenai hubungan luar negeri, dan undang-undang mengenai perjanjian internasional. Ayat (2) Perjanjian kerja sama bantuan timbal balik antara lain mengatur tentang prosedur komunikasi, tata cara penyampaian surat rogatori, persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyampaikan permintaan bantuan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Menteri dalam menerima atau menolak kerja sama bantuan timbal balik berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait. Pasal 44A Ayat (1) Huruf a Surat rogatori dalam ketentuan ini adalah surat dari negara lain yang berisi permintaan pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan mengenai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di bawah sumpah dan di hadapan penyidik, penuntut umum, atau hakim di Indonesia dan sebaliknya. Surat rogatori ini dikenal dengan letter of rogatory. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 44B Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4324

KRITIK TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL DI INDONESIA

KRITIK TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL DI INDONESIA Kekuatan Sosial yang Berperan dalam Perkembangan Teori-teori Sosial Ilmu-ilmu sosial dalam sejarah perkembangannya menguraikan bahwa terjadinya perubahan sosial di Eropa berupa revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial di Perancis pada abad 19 dan 20 mengakselerasi lahirnya ilmu sosial. Revolusi industri bukan kejadian tunggal, tetapi merupakan berbagai perkembangan yang saling berkaitan yang berpuncak pada transformasi dunia barat dari corak sistem pertanian menjadi sistem industri. Banyak orang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Pabrik itu sendiri telah berkembang pesat berkat kemajuan teknologi. Birokrasi ekonomi berskala besar muncul untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh industri dan sistem ekonomi kapitalis. Harapan utama dalam ekonomi kapitalis adalah sebuah pasar bebas tempat memperjualbelikan berbagai produk industri. Di dalam sistem ekonomi kapitalis inilah segelintir orang mendapatkan keuntungan sangat besar sementara sebagian besar orang lainnya yang bekerja membanting tulang dalam jam kerja yang panjang, menerima upah yang rendah. Situasi seperti itulah mendorong munculnya reaksi menentang sistem industri dan kapitalisme pada umumnya yang diikuti oleh ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal lain yang bertujuan menghancurkan sistem kapitalis dan berujung pada pergolakan dahsyat dalam masyarakat eropa. Pergolakan ini pula yang mendorong para sosiolog (Marx, Weber, Durkheim dan Simmel) untuk mempelajari masalah tersebut dan menghabiskan waktunya untuk mengembangkan program yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga muncullah istilah “sosialisme”, sebagai jawaban atas sistem kapitalisme yang dianggap meresahkan masyarakat di era industri. George Berkeley (1713) menulis essai ilmu sosial bertajuk De Motu, yang berupaya melacak analogi antara dorongan tindakan fisik dalam dunia material dan dorongan moral dan dimensi psikologis dalam masyarakat. Ibarat tata surya yang saling tarik menarik satu sama lain, demikian juga halnya dengan manusia. Kekuatan tarikan moral menarik seperti kekuatan alam, manusia terdekat akan semakin kuat tarikannya. Pada saat yang sama juga terjadi fluktuasi tarikan pada manusia seperti kekuatan sentrifugal yang terjadi pada sistem tata surya. Upaya semacam itu dalam konteks ilmu sosial dianggap premature. Karena untuk mencapai kemapanan ilmu sosial penting, paling tidak ada dua kondisi dasar yang wajib dipenuhi sebelum ilmu social dapat muncul, yaitu: (1) naturalism, yaitu doktrin yang menjelaskan bahwa semua gejala dapat dijelaskan dalam logika sebab akibat (cause and effect), (2) sistem evaluasi etis harus diminimalkan atau diabaikan sama sekali. Hal itu diperlukan agar gejala sosial tidak terkekang dalam persoalan nilai. Para pemikir ilmu sosial terdahulu telah banyak memunculkan ide dan gagasan yang masih lazim digunakan oleh pemikir-pemikir sekarang, walaupun pada hakikatnya banyak menimbulkan pertentangan antara pemikir itu sendiri. Dengan berlandasakan pada beberapa proposisi utama yang rasional dan natural dalam ilmu sosial seperti; (1) pikiran merupakan perangkat yang secara universal dimiliki manusia, (2) hakikat manusia sama secara universal, (3) lembaga dibangun oleh manusia, bukan manusia ada untuk lembaga, (4) kemajuan merupakan hukum utama masyarakat serta (5) gambaran ideal manusia merupakan realisasi dari kemanusiaan itu, banyak memberikan inspirasi bagi teoritisi sekarang untuk mengembangkan konsep ilmu sosial baru. Kritik Terhadap Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia Ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia disebabkan oleh; Pertama, harus dilacak sejak Orde Baru berkuasa. Hal itu ditandai oleh dilarangnya Marxisme sebagai mata ajaran di seluruh jenjang pendidikan. Ini sangat penting karena, anda tidak bisa belajar teori dengan benar dalam suasana akademik yang tidak demokratis. Misalnya, ketika pengajar mengatakan, Marxisme itu berbahaya, teori kelas itu tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, para murid tidak bisa bertanya “kenapa berbahaya dan kenapa tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia?” Sekali murid bertanya, maka pengajar langsung curiga, “jangan-jangan si murid ini dari keluarga atau ada hubungan keluarga dengan orang-orang PKI.” ? Katakanlah, si pengajar orang yang bijaksana dan terbuka pada pertanyaan seperti itu. Dan ia mau mendiskusikannya di ruang kelas, apa yang terjadi? Si pengajar dipanggil oleh atasannya, di cek “kebersihan dirinya,” lalu di wanti-wanti. Gila juga kan? Celakanya, larangan itu masih berlaku hingga kini, masa dimana orang berbusa-busa bicara demokrasi dan keterbukaan. Dan kita dapati, para intelektual yang menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa memperjuangkan secara sungguh-sungguh demokratisasi dunia pendidikan. Dan sangat lucu, bagaimana mereka bisa menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa sungguh-sungguh memahami apa itu Marxisme dan teori kelas, mendiskusikannya secara terbuka dan egaliter? Lantas, darimana mereka belajar Marxisme? Sembunyi-sembunyi di malam gelap? Pantas, jika ada joke, "salah satu tanda seorang intelektual, adalah dia berkacamata." Hah? Selain itu, pelarangan mata ajaran Marxisme membuat para intelektual dan calon intlelektual di Indonesia, terputus dari akar tradisi akademik yang sangat besar dan sangat dalam di dunia ini. Bagaimana anda bisa memahami teori Weberian, Parsonian, Schumpeterian, Keynesian, Dahlian atau bahkan Hayekian, tanpa memahami Marxian? Bagaimana anda bisa memahami, pandangan dunianya Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari atau Sayyid Qutb, tanpa memahami pandangan dunianya ilmuwan sekuler? Perkembangan ilmu itu berlangsung secara dialektik, yang satu tidak mungkin berkembang tanpa yang lain, ia adalah hasil pergumulan tanpa henti, saling serang, saling kritik, yang satu mengafirmasi atau bahkan menegasi yang lain. Ilmu pengetahuan tak bisa berkembang atas nama yang suci, atau atas nama doktrin-doktrin yang turun dari langit. Kedua, ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia, adalah tidak adanya penghargaan yang komprehensif terhadap para intelektual. Coba dengar kata almarhum. Soedjono, mantan orang kuat jaman Soeharto, “Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya,” (Tempo, 4-10/2/2008). Akibat turunannya, yang berlanjut hingga kini, tidak ada fasilitas perpustakaan yang lengkap, tidak ada mekanisme yang terukur dan teruji menyangkut peningkatan kualitas tenaga pengajar, tidak ada jurnal yang berbobot, tidak ada dukungan bagi penerbitan karya-karya akademik bermutu, serta tidak ada jaminan rasa aman bagi intelelektual dalam kerja-kerja akademiknya. Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Arief Budiman cs dari universitas Satya Wacana, Salatiga, yang dipersona non gratakan, hanya karena mereka bersuara beda dengan kepentingan kekuasaan. Kasus paling anyar, tentu saja perlakuan keji terhadap almarhum Munir, yang dihabisi akibat kritik-kritiknya yang tajam. Dan hingga kini, kita masih saja mendengar, para intelektual yang bicara kritis, bisa segera di cap provokator, atau merusak suasana nyaman yang sangat dibutuhkan saat ini. Ketiga, dua keadaan di atas telah membentuk budaya intelektual yang kering kerontang dan mentalitas cari aman serta penempuh jalan pintas. Kita tentu ingat dengan ungkapan ini, “karya terbesar intelektual di Indonesia, adalah disertasi doktoralnya.” Setelah itu, tak ada lagi, dan dalam waktu singkat mereka berbondong-bondong menjadi komentator atau menjadi manajer. Kita akan dengan mudah menemukan mereka lewat artikel-artikel yang bertaburan di media massa. Bahkan, ada yang secara spektakuler sanggup menulis lebih dari dua artikel berbeda dalam sehari di media yang berbeda. Kita juga akan mudah melihat wajah mereka di layar kaca, menjadi pembicara atau host. Kalau kita ikuti perdebatan mereka di layar kaca, kita akan segera tahu betapa pandainya mereka bermain kata-kata. Profesi lain dari para intelektual ini adalah menjadi manajer kampanye politik dari kandidat yang mereka dukung atau yang membayarnya. Jika kandidat yang mereka dukung menang, mereka ikut dalam kereta kencana kekuasaan, menjadi juru bicara atau tukang bisik penguasa. Kita jadi bingung, mereka omong sebagai intelektual yang harus menimbang secara cermat setiap kata yang diucapkan dan ditulisnya, atau mereka menjadi tukang pembenar segala langkah yang ditempuh patronnya. Hari ini omong A, besok omong B. Kondisi ini dengan telak mematahkan asumsi yang luas diyakini selama ini, bahwa kesulitan terbesar dari tidak lahirnya karya-karya bermutu dari intelektual di Indonesia, karena rendahnya imbalan material buat mereka. Boleh jadi benar bahwa gaji para intelektual itu sangat rendah dibandingkan dengan rekannya di Amerika, misalnya. Tapi, kita tahu persis, kini sebagian dari para intelektual itu menikmati pendapatan yang sangat besar, bahkan ada yang telah menjadi kaya-raya. Hampir semua dari intelektual yang bergelar doktor itu punya proyek, apakah dalam bentuk LSM atau lembaga think-tank. Tapi, apakah kemudian mereka menghasilkan karya bermutu? Keempat, para teoritisi sosial hanya memberikan jawaban dan kritik terhadap teori-teori yang dikemukakan teoritisi lainnya, sehingga kadang-kadang mereka larut dalam pertentangan konsep yang berkepanjangan. Sebut saja misalnya antara ilmu sosial positif dan ilmu social kritis. Ilmu sosial positif berasumsi bahwa cara penjelasan yang dilakukan terhadap suatu obyek diberlakukan secara umum terhadap semua ilmu pengetahuan. Paradigma yang dikembangkan adalah nomologis dan ini tidak bisa diterima oleh ilmu sosial pada umumnya, terutama ilmu sosial kritis. Cara ilmu ini selain nomologis adalah ahistoris, diterministik dan prohabilistik. Penjelasan terhadap suatu gejala biasanya dikaitkan dengan usaha meramalkan apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Semua kegiatan didalam ilmu sosial positif, dari pengumpulan data, penyempurnaan data, korelasi data, dan formulasi generalisasi, hipotesa dan pengembangan model-model penelitian, semuanya diarahkan untuk menguji teori yang dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah logika yang ditetapkan secara ketat. Ilmu sosial kritis justru hadir menentang kaidah-kaidah keilmuan yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial positif, dan karena itu mudah menggoncang paradigma. Bila ilmu-ilmu sosial positif mempelajari perilaku manusia maka ilmu sosial kritis mempelajari aksi manusia dan melihat bahwa dunia sosial diciptakan melalui tindakan manusia dan pemahaman inter subyektif. Ilmu sosial kritis mencoba memahami hubungan kondisi-kondisi sosial dengan tindakan subyektif manusia dengan berbagai macam kepentingannya. Karena hubungan antara kondisi sosial dan tindakan manusia itu sifatnya sangat rumit, maka ilmu sosial kritis tidak percaya dengan apa yang disebut prediksi. Karena hakekat masyarakat adalah pemahaman dan tindakan masyarakat itu sendiri maka secanggih apapun kondisi sosial itu diramalkan dan diatur dengan ketat sedemikian rupa, didalamnya pasti terdapat banyak kesalahan. Kalau konsep-konsep dan katagori-katagori ilmu sosial positif masih banyak kita gunakan sekarang, pada masa datang nanti sudah tidak dapat lagi. Kaum positivist beranggapan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah usaha mengembangkan disiplin ilmu yang dipelajari, tetapi tragisnya mereka justru melepaskan bagaimana proses-proses sosial itu tercipta. Jika semua proses sosial dipahami sebagai produk tindakan manusia, maka semua pertimbangan kritis harus dimulai dari pemahaman, nilai-nilai, dan inter subyektif. Pengertian-pengertian, nilai-nilai dan motif-motif ini harus dikembangkan dengan proses-proses sosial dengan cara menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka dibangun oleh tindakan dan refleksi manusia. Penjelasan-penjelasan kritis di dalamnya meliputi teori-teori dasar tentang perubahan struktural, nilai-nilai, pengertian-pengertian dan motif-motif yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan struktural. Perbedaan-perbedaan pemahaman tentang struktur sosial (meliputi kekuatan domianan dan kekuatan pinggiran) harus dikaji dalam teori kritis. Sebagai contoh suatu gagasan mobilitas sosial boleh jadi didukung oleh pengalaman personal golongan minoritas kapitalis, terutama di Amerika Serikat pada waktu itu. Konsep mobilitas sosial dalam prakteknya ternyata hanya memberikan keuntungan kaum kapitaslis belaka, sedang orang-orang golongan lemah justru semakin tersingkir karena kelemahannya secara ekonomis oleh penguasa kapitalis. Konsep-konsep yang diciptakan oleh manusia ternyata dalam prakteknya dapat memberikan keuntungan bagi beberapa pihak dan merugikan beberapa pihak-pihak lainnya. Selama manusia yang mencari keuntungan ingin tetap mempertahankan posisi mereka sedang mereka yang tidak diuntungkan dengan sistim tersebut sengaja dibuat tidak paham agar terus menerus dapat dijadikan ajang dominasi. Ilmu sosial kritis hadir ditengah-tengah masyarakat dengan pertimbangan-pertimbangan kritis, ingin menyadarkan manusia yang tidur didunia mereka sendiri. Karena karakternya yang demikian, maka didalam dirinya senantiasa terkandung keinginan untuk melakukan perubahan, baik secara radikal atau tidak. Perubahan-perubahan radikal terjadi karena adanya kontrakdisi-kontrakdisi dalam proses sosial, artinya ada pihak yang mencari keuntungan dan ada yang dirugikan dari haknya antar kelompok didalam ilmu sosial. Semua ini dapat dipahami lewat ideologi dan kondisi-kondisi sosial yang berkembang selama ini. Kontrakdisi fundamental akan terjadi apabila kepentingan-kepentingan sebagian fihak bertentangan terus menerus dengan kepentingan pihak lainnya, misalnya dalam satu sistim sosial yang memberlakukan praket-praket monopoli berhadapan dengan sistim kompetisi bebas. Satu kelompok atau kelompok yang tertindas di dominasi dalam sistim yang berkembang sekarang ini akan melakukan perlawanan dan melakukan perubahan sosial sebagaimana mereka kehendaki. Ini adalah perkara politik dan karena itu harus berkali-kali dijelaskan bahwa teori kritis memang tidak bisa dipisahkan dari politik praktis. Sejauh mana pergolakan politik itu timbul tergantung pada derajad pertentangan kepentingan kaum progressive dengan para pemegang kekuasaan. Kalau kontradiksi yang terjadi tidak terlalu mendesak, pada umumnya dapat diselesaikan melalui cara damai tanpa harus membungkus ideologi dan struktur kekuasaan. Tetapi kalau kontradiksi itu sangat mendesak, tidak ada cara lain kecuali merombak ideologi dan struktur yang dianggap tidak mapan. Kapan kontradiksi fundamental itu akan terjadi tidak dapat diramalkan oleh ilmu sosial, sebab ini menyangkut kesepakatan manusia secara bersama-sama menghadapi ideologi dan struktur yang berkembang. Karena itu dapat dirumuskan bahwa tujuan teori kritis bukanlah untuk meramalkan perubahan sosial, melainkan memahami perkembangan sejarah masyarakat sehingga mereka melakukan perubahan sosial. Masuknya ilmu sosial kritis dalam percaturan politik praktis seperti dikatakan diatas kemudian membedakan para ilmuwan sosial positif disatu pihak dengan ilmuwan sosial kritis dilain pihak. Ilmu sosial di Indonesia seperti di negara lain, oleh penulis dianggap tidak mengalami perkembangan seperti halnya dengan ilmu lain, misalnya ilmu alam. Walaupun perkembangannya tidak terlalu besar, tetapi dapat memberikan kontribusi berarti dalam pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Salah satu cabang ilmu sosial yang cukup signifikan dalam perkembangan ilmu sosial adalah sosiologi itu sendiri, di mana perkembangan terakhir ini muncul suatu isitilah baru dalam sosiologi, yaitu sosiologi profetik, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma ilmu sosial profetik (ISP). ISP dicetuskan oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan ilmu sosial yang mampu mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental. Sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini sekaligus menjawab teori positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos dan cerita rakyat (folk wisdom) yang belum tentu kebenarannya. Uraian ini memberikan gambaran bahwa secara ontologi perkembangan ilmu sosial yang berkiblat ke dunia barat, dapat memberikan penguatan terhadap kelahiran konsep dan istilah baru ilmu sosial. Konsep terdahulu dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam merumuskan dan pengembangan teori-teori sosial modern, bahka lebih dari itu dijadikan sebagai konsep penanganan masalah-masalah sosial yang melanda semua negara di dunia. Secara hipestemologi, ilmu sosial yang berkembang dsampai dewasa ini maish sering dipertentangkan, apakah bisa diistilahkan sebagai ilmu baru atau hanya sebuah kata yang mengandung unsur sastra. Pertanyaan ini masih melengkapi teka teki keilmiahan teori sosial. Pembentukan premis mayor dan minor yang seharusnya melandasi conclucion sebuah teori masih sering dipertanyakan, apakah sesuai dengan metode ilmiah atau hanya hanya sekadar pernyataan biasa. Secara aksiologi, kekurangan perkembangan ilmu sosial di Indonesia yang mendapat inspirasi dari dunia luar yang kebarat-baratan (westernisasi) lebih mengutamakan unsur akal dan nafsu, sehingga melahirkan konsep yang berwarna liberal, kapital, dan humanis. Suatu konsep yang bertolak belakang dengan nilai dan norma kehidupan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi peradaban dan kesantunan dalam bermasyarakat. Namun dengan adanya terpaan angin liberal dan kapitalis yang begitu kencang, tatanan kehidupan Inondesia yang dulunya masih memegang teguh nilai dan norma, kini mulai terkikis dan terganti dengan budaya liberal dan kapitalis yang serba material dan hedonis. DAFTAR PUSTAKA Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Rosda Karya. Bandung. Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta. Ritzer George dan D.J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta. Saptono. 2007. Sosiologi. Phibeta. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Sosiologi. Bumi Aksara. Jakarta. _______________. 1982. Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat. Ghalia Indonesia. Jakarta. Suzan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Kencana. Jakarta.