Selasa, 11 September 2012

TEORI LEWIS A. COSER

TEORI LEWIS A. COSER “MEMPERTAHANKAN STRUKTUR MELALUI KONFLIK” ------------------------------------------------------------------------------------ A. ASAL USUL Selama kurang lebih dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tekanan pada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik. Melihat kondisi ini ahirnya Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut yaitu memadukan teori struktur dengan teori konflik. Coser mengakui beberapa susunan struktural hasil persetujuan dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional structural, tetapi dia juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial. Teori ini muncul karena, para ahli teori kontemporer sering mengacuhkan analisa konflik sosial, namun dalam hal ini Coser memilih menunjukkan berbagai sumbangan konflik secara potensial positif untuk membentuk serta mempertahankan struktur. B. ISI TEORI Coser mengambil pembahasan konflik dari Simmel, mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi – kondisi dimana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negative akan memperlemah kerangka masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari aspek – aspek sebagai berikut: Ikatan kelompok dan pemeliharaan fungsi – fungsi konflik sosial Konflik dapat merupakan proses yang bersifat fundamental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik itu (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat struktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out-group. Di dunia internasional kita dapat melihat konflik, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja perundingan, mampu menetapkan batas – batas geografis nasional. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok – kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya. Konflik yang sedang berlangsung dengan out group dapat memperkuat identitas para anggota kelompok. Perang bertahun – tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identifikasi in group Negara Arab dan Israel, atau kaum Protestan dan Katolik di Irlandia Utara. Kelompok keagamaan, kelompok etnis, dan kelompok politik sering berhasil mengatasi berbagai hambatan karena konflik menjalankan fungsi positif dalam memperkuat identitas in – group. Katup Penyelamat ( Savety valve ) ialah salah satu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari berbagai kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang kacau. Coser ( 1956:41) melihat katup penyelamat demikian berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan” yang tanpa itu hubungan – hubungan di antara pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian praktek – praktek atau institusi katup penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur. Badan perwakilan mahasiswa atau panitia kesejahteraan dosen, dapat berfungsi sebagai katup penyelamat menyediakan sarana lewat mana para mahasiswa dan fakultas bisa mengungkapkan keluhan di universitas mereka. Kepala personalia suatu birokrasi perusahaan melakukan fungsi yang serupa. Biro usaha lebih baik adalah suatu organisasi “savety valve” yang mengurangi konflik antara perusahaan dan konsumen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan universitas, perusahaan atau sistem ekonomi. Lembaga “savety valve” itu, di samping menjalankan fungsi positif untuk mengatur konflik, juga mencakup masalah pembiayaan. Oleh karena itu katup penyelamat bukan direncanakan atau ditujukan untuk menghasilkan perubahan structural, maka masalah dasar dari konflik itu sendiri tidak terpecahkan. Tidak satupun badan perwakilan mahasiswa kebijakan di universitas. Mereka ada hanya dengan persetujuan universitas dan paling tidak sebagian, diatur serta dikendalikan oleh struktur yang lebih besar. Kepala personalia perusahaan itu pun tidak benar – benar mengetengahkan kepentingan para karyawan, dan “the better business bureau” itu juga tidak pula menganggap kebutuhan konsumen sebagai alasan utama bagi eksistensinya. Semuanya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengatur kemungkinan konflik dan secara tidak langsung merintangi perkembangan kelompok – kelompok yang sedang bertikai ( fakultas atau serikat buruh ) yang bisa menimbulkan perubahan melalui konflik itu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser (1956 : 48). Lewat katup penyelamat (safety-value) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi – kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, maka menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan – ledakan desktruktif. Konflik Realistis dan Non-Realistis Dalam membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik yang realistis dari yang tidak realistis. Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan – tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang diajukan pada obyek yang diajukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Para karyawan yang mengadakan pemogokan melawan manajemen merupakan contoh dari konflik realistis, sejauhmana manajemen memang berkuasa dalam hal kenaikan gaji serta berbagai keuntungan buruh lainnya. Konflik Non-Realistis adalah konflik yang berasal bukan dari tujuan – tujuan saingan yang antagonistis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak” (Coser 1959: 49) Dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam lewat ilmu gaib, sebagaimana hal dengan pengkambinghitaman yang sering terjadi dalam masyarakat yang telah maju. Banyak kelas indvidu kelas menengah dan kelas pekerja menunjukkan prasangka terhadap “orang – orang miskin penerima bantuan kesejahteraan sosial” (bumson welfare) melalui penyalahgunaan pajak pendapatan yang diperoleh dengan susah paya. Tetapi, yang sebenarnya terjadi ialah bahwa sebagian besar pajak tersebut lebih banyak jatuh ke tangan kaum kaya dalam bentuk subsidi atau secara tidak langsung melalui pemotongan pajak, daripada dalam bentuk bantuan kesejahteraan bagi kaum miskin. Oleh karena tidak mampu bermusuhan dengan kaum politisi, yang mungkin memperoleh berbagai subsidi pertanian, atau dengan perusahaan – perusahaan minyak, yang memperoleh depresiasi penurunan nilai minyak, seorang dari kelas menengah Amerika dapat menggunakan si penerima bantuan kesejahteraan sebagai obyek kemarahan menentang sistem pajak Amerika. Dengan demikian, konflik non realistis adalah hasil dari berbagai kekecewaan dan kerugian atau, seperti yang terlihat dalam contoh ini, sebagai pengganti antagonis realistis semua dan yang tidak terungkapkan. Permusuhan Dalam Hubungan – Hubungan Sosial yang intim Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Konflik bila berkembang dalam hubungan – hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realistis dan non realistis lebih sulit untuk dipertahankan. Coser (1956:62) menyatakan: “semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan – hubungan sekunder, seperti dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relative bebas diungkapkan. Walaupun berat bagaimanapun masalahnya ketika konflik meledak dalam hubungan – hubungan intim itu, Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai suatu petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda – tanda dari hubungan yang hidup, sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah – masalah yang menandakan kelak akan ada suasana yang benar – benar kacau. Hubungan antara Konflik dan Struktur Sosial sebagai berikut: Konflik cenderung disfungsional bagi struktur sosial dimana tidak ada atau tidak terdapat cukup toleransi dan institusional konflik. Intensitas konflik yang mengancam terjadinya “ penghancuran “ yang menyerang dasar – dasar kesepakatan sistem sosial, berhubungan dengan kekakuan struktur. Apa yang merupakan ancaman bagi keseimbangan struktur yang demikian bukan konflik itu sendiri, tetapi adalah kekakuannya yang membiarkan rasa permusuhan terakumulasi dan bila meledak dalam konflik cenderung disalurkan melalui satu jalur utama : perpecahan. C. KESIMPULAN Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel. Berdasarkan risalat konflik ( dari Simmel ) sebagai bentuk asosiasi, Coser membentangkan proposisi untuk menguji fungsionalitas konflik bagi kelompok sosial. Sebagaimana hal dengan usaha – usaha teoritis Simmel, usaha Coser juga merupakan upaya untuk membentuk teori yang parsial daripada teori menyeluruh tentang masyarakat. Oleh karena banyaknya analisa kaum fungsionalis yang melihat bahwa konflik adalah disfungsional bagi suatu kelompok, Coser mencoba mengemukakan kondisi – kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok – kelompok dan batas – batasnya terbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok lewat pengukuhan kembali identitas kelompok. Apakah konflik merupakan kohesi atau perpecahan kelompok tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana ketegangan ditangani, dan yang terpenting tipe struktur dimana konflik itu berkembang. Coser membedakan antara konflik in-group dan konflik dengan out-group, antara nilai inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran, antara konflik yang menghasilkan perubahan structural lawan konflik yang disalurkan lewat lembaga – lembaga katup penyelamat (savety-valve) dan antara konflik pada struktur berjaringan longgar dan struktur berjaringan ketat. Dia juga membedakan konflik realistis dengan non realistis. Keseluruhan butir – butir tersebut merupakan factor – factor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu proses sosial. Karya Coser tentang konflik itu bisa dengan lebih baik digambarkan sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism). Tanpa melepaskan konsep – konsep serta asumsi – asumsi fungsionalisme structural dia mencoba menambahkan dimensi konflik yang dinamis ke dalam teorinya. Bagi Coser perspektif integrasi dan perspektif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling bersaing. Sebagaimana dinyatakan, keduanya adalah “teori – teori parsial yang merangsang para pengamat pada satu atau lain perangkat data atau peristiwa yang berhubungan dengan penjelasan teoritis yang menyeluruh …. ( Dengan demikian ) konflik dan consensus, integrasi dan perpecahan adalah proses pundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti”. SUMBER: Poloma, M. Margaret.2007. Sosiologi Komtemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada DAFTAR PUSTAKA Poloma, M. Margaret.2007. Sosiologi Komtemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar