Selasa, 11 September 2012

Problem Pendidikan Multikultural

PROBLEMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA Pendahuluan Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras dan antar golongan. Kita diseru untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal – suku, agama, ras, golongan – yang seharusnya menjadi hasanah dan modal untuk membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai kepentingan politiknya. Maka ketika konflik bergejolak di daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagaia akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial. Bertolak dari kenyataan itu, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke arah lebih baik. Berikut ini akan dibahas mengenai problem Pendidikan Multikultural di Indonesia. A. Problema Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut: 1. Keragaman Identitas Budaya Daerah Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras. Misalnya peristiwa Sampit. Mengapa ? Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan. Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Dengan adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi. 2. Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan. Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang. Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung. 3. Kurang Kokohnya Nasionalisme Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi. Sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini. 4. Fanatisme Sempit Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini. Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. 5. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini. Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya. 6. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi. Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini. Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini. 7. Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam memberitakan peristiwa. Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif. Sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan. Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot adalah tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa. B. Problem Penyakit Budaya: Prasangka, Stereotipe, Etnosentrisme, Rasisme, Diskriminasi, dan Scape Goating Konflik bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan bijaksana. Masing-masing individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi dan scape goating terhadap pihak lain. Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan kunci utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan solusi yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatisme di daerah-daerah yang lebih sering disebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai penyakit budaya seperti prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi ini. 1. Prasangka Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikholog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of Prejudice pada tahun 1954. Istilah ini berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu. Menurut Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu.” Allport memang sangat menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati kelompok. Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan pada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri. Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berpikir logis dan obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif. Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk memberi “label” atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau memandang rendah kelompok lain. Misalnya, seseorang dari suku tertentu diberi “label”, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang menyimpulkan iini karena dari pengalaman dia mengetahui bahwa mereka memang banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang dia dapatkan dari televisi yang memperlihatkan bahwa sebagian besar mengacara yang terkenal di Indonesia dan sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata berasal dari orang Batak. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe: a. Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya wanita Priangan itu suka bersolek. b. Bentuk atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu keras. c. Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut. Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe: a. Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama. b. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. c. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group). d. Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain. 3. Etnosentrisme Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri. 4. Rasisme Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia “razza”. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang Eropah berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial yang berpandangan bahwa orang kulit putih mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap sangat primitif. Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti bidang sosial, ekonomi, politik, di amana orang kulit hitam merupakan subordinasi orang kulit putih. Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Buffon, anthropolog Perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karaktersitik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar. Secara kultural, Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultural. Ada empat jenis ras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah. Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial. 5. Diskriminasi Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya. 6. Kambing Hitam (Scape Goating) Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. C. Problema Pembelajaran Pendidikan Multikultural Sesudah mengetahui problema kemasyarakatan dan problema penyakit budaya yang harus di atasi dengan Pendidikan Multikultural ini, pada subunit 3 ini kita akan melanjutkan pembicaraan kita dengan problema pembelajaran Pendidikan Multikultural. Dalam kerangka strategi pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif dan sadar budaya. (Dikti, 2004: 5). Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam Pembelajaran Berbasis Budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya. Beberapa permasalahan awal Pembelajaran Berbasis Budaya pada tahap persiapan awal, antara lain: 1. Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik; 2. Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya; 3. Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing dalam konteks pengalaman belajar yang diperoleh (Dikti, 2004: 5). Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagamaan budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas (Banks, 1997), antara lain: 1. Masalah “seleksi dan integrasi isi” (content selection and integration) mata pelajaran: a. Sejauh mana guru mampu memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran. b. Sejauh mana guru dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik. 2. Petunjuk mengatasi masalah seleksi dan integrasi isi Empat belas petunjuk berikut didesain untuk membantu Anda dengan lebih baik dalam mengintegrasikan isi tentang kelompok etnis ke dalam pembelajaran dalam Pendidikan Multikultural: a. Guru adalah variabel amat penting dalam mengajarkan materi etnis. Jika memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diperlukan, saat menghadapi materi rasial di dalam pelajaran atau mengobservasi rasisme dalam pernyataan dan perilaku siswa, dapat menggunakan situasi ini untuk mengajarkan tentang pengalaman kelompok etnis tertentu. b. Pengetahuan tentang kelompok etnis diperlukan untuk mengajarkan materi etnis secara efektif. Baca paling sedikit satu buku utama yang mensurvei sejarah dan budaya kelompok etnis. c. Sensitiflah dengan sikap, perilaku rasial Anda sendiri dan pernyataan yang Anda buat sekitar kelompok etnis di kelas. Pernyataan seperti “Duduk bersimpuh seperti orang Jawa” adalah stereotipe orang Jawa. d. Yakinkan bahwa kelas Anda membawa citra positif tentang berbagai kelompok etnis. Anda dapat melakukan ini dengan menayangkan majalah dinding, poster, dan kalender yang memperlihatkan perbedaan rasial dan etnis dalam masyarakat. e. Sensitiflah terhadap sikap rasial dan etnis dari siswa Anda dan jangan menerima keyakinan bahwa “anak-anak tidak melihat ras, kelompok kaya/miskin, warna kulit.” Karena hal ini disangkal oleh riset. Semenjak riset pertama oleh Lasker pada tahun 1929, peneliti telah mengetahui bahwa anak yang muda sekali sadar akan perbedaan rasial dan bahwa mereka cenderung menerima penilaian atas berbagai kelompok ras yang normatif dalam masyarakat luas. f. Bijaksanalah dalam pilihan Anda dalam menggunakan materi pelajaran. Sebagian materi mengandung stereotipe yang halus maupun mencolok atas kelompok etnis. g. Gunakan buku, film, video, dan rekaman yang dijual di pasaran untuk pelengkap buku teks dari kelompok etnis dan menyajikan perspektif kelompok etnis pada siswa Anda. Beberapa sumber ini mengandung gambaran yang kaya dan kuat atas pengalaman dari orang kulit berwarna. Siaran di televisi saat ini sudah banyak yang mengisahkan berbagai peristiwa budaya di tanah air. h. Berikan sentuhan warisan budaya dan etnis Anda sendiri. Dengan berbagi kisah etnis dan budaya dengan siswa, dapat menciptakan iklim di kelas. i. Sensitiflah dengan kemungkinan sifat kontroversial dari sebagian materi studi etnis. Jika telah jelas dan paham tentang tujuan pengajaran, dapat menggunakan buku yang kurang kontroversial untuk mencapai tujuan. j. Sensitiflah dengan tahap perkembangan dari siswa Anda jika Anda memilih konsep, materi, dan aktivitas yang berkaitan dengan kelompok etnis. k. Memandang siswa kelompok minoritas Anda sebagai pemenang. Siswa dari kelompok minoritas ingin mencapai tujuan karier dan akademis yang tinggi. l. Ingatlah bahwa orang tua dari siswa kelompok minoritas amat berminat dalam pendidikan dan ingin anak-anak mereka berhasil secara akademis sekalipun orang tua mereka terpinggirkan dari sekolah. m. Gunakan teknik belajar yang kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas. n. Yakinkan bahwa permainan sekolah, pemandu sorak, publikasi sekolah, kelompok informal dan formal yang lain berintegrasi secara rasial. 3. Masalah “proses mengkonstruksikan pengetahuan” (the knowledge construction process) a. Aspek budaya manakah yang dapat dipilih sehingga dapat membantu peserta didik untuk memahami konsep kunci secara lebih tepat. b. Bagaimana guru dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dalam perspektif ilmiah c. Bgaimana guru tidak bias dalam mengembangkan persepektif itu. Misalnya kincir air diambil sebagai frame of reference dari khasanah budaya lokal (tradisional), tetapi dapat dipakai untuk menjelaskan PLTA. 4. Masalah “mengurangi prasangka” (prejudice reduction) a. Bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya dijadikan media pembelajaran. b. Masalah kesetaraan status budaya peserta didik yang budayanya jarang dijadikan media pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar