Selasa, 11 September 2012

PENGUATAN SINERGITAS FUNGSIONAL ANTARA GURU DENGAN SISWA DALAM PROSES PENDIDIKAN

PENGUATAN SINERGITAS FUNGSIONAL ANTARA GURU DENGAN SISWA DALAM PROSES PENDIDIKAN A. Kesenjangan Antara Guru dan Siswa Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik. Sementara anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur paling vital di dalam proses belajar-mengajar. Sebab seluruh proses, aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu melibatkan keberadaan pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana. Hal itu sudah menjadi syarat mutlak atas terselenggaranya suatu kegiatan pendidikan. Dengan mendasarkan pada pengertian bahwa pendidikan berarti usaha sadar dari pendidik yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik, terkandung suatu makna bahwa proses yang dinamakan pendidikan itu tidak akan pernah berlangsung apabila tidak hadir pendidik dan peserta didik dalam rangkaian kegiatan belajar mengajar. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan pilar utama terselenggaranya aktivitas pendidikan. Idealnya aktivitas pendidikan adalah ingin memberdayakan atau membimbing siswa agar memiliki sikap dan perilaku yang baik. Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan dari seberapa jauh guru mampu mengeliminir atau menyelesaikan problem pembelajaran. Semakin sedikit problem pembelaran yang muncul selama proses pembelajaran akan semakin besar peluang keberhasilan belajar siswa, begitu sebaliknya. Sedikitnya ada tiga macam bentuk permasalahan pembelajaran: 1. Bersifat metodologis, yaitu problem yang terkait dengan upaya atau proses pembelajaran yang menyangkut masalah kualitas penyampaian materi, kualitas interaksi antara guru dengan siswa, kualitas pemberdayaan sarana dan elemen dalam pembelajaran. Materi akan mudah diterima dan dipahami siswa jika guru tidak memiliki problem metodologis dalam pembelajaran. Konsekuensinya guru harus memiliki kemampuan seni dalam menyampaikan materi pelajaran, mengetahui secara tepat kapan dan bagaimana menggunakan metode pembelajaran, serta memiliki kemampuan memilih dan menggunakan sarana pembelajaran. 2. Bersifat kultural yaitu problem yang berkaitan dengan karakter atau watak seorang guru dalam mensikapi terhadap proses pembelajaran. Problem ini muncul dari cara pandang atau pemahaman guru terhadap peran guru dan makna pembelajaran. Guru yang merasa sosok figur yang paling pintar, paling cerdas, harus ditiru serta pemahaman bahwa pembelajaran merupakan lahan doktrin akan berimplikasi kepada salahnya proses pembelajaran yang akhirnya berujung pada gagalnya proses belajar siswa. 3. Bersifat sosial yaitu problem yang terkait dengan hubungan dan komunikasi antara guru dengan elemen lain yang ada di luar guru, seperti adanya kekurangharmonisan hubungan antara guru dan siswa, antara pimpinan sekolah dengan siswa, bahkan di antara sesama siswa. Ketidakharmonisan antara guru dan siswa bisa disebabkan akibat pola atau sistem kepemimpinan yang kurang demokrasi atau kurang memperhatikan masalah masalah-masalah kemanusiaan. Akhir dari permasalahan ini membawa konflik antara guru dan siswa. Ketidakpuasan siswa menumbuhkan perasaan tidak suka kepada guru. Di masa lampau, guru cenderung tampil sebagai “pemenang” dalam konflik ini. Itulah mengapa, sejumlah siswa kemudian dijatuhi sanksi berupa hukuman yang ada kalanya bersifat fisik. Kini, kemajuan teknologi turut serta mewarnai keberlanjutan konflik guru-murid. Dengan adanya jejaring sosial Facebook, misalnya, konflik guru-murid bisa tiba-tiba meletus. Bahkan, konflik itu mengonjang-ganjing dunia pendidikan. Di SMA Negeri IV Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, empat orang siswa dijatuhi sanksi. Bahkan, sanksi itu berupa pemacatan terhadap sebagian siswa. Gara-garanya, para siswa menghina dan melecehkan guru mereka melalui penulisan dan komentar status di Facebook. Sang guru meradang dan lalu minta para siswa itu dipecat. Hingga berita ini ditulis, konflik guru-siswa di SMA Negeri IV Tanjung Pinang itu belum terselesaikan. Sementara di Jember, Jawa Timur, seorang mahasiswa bernama Wahyu dituduh mencemarkan nama baik. Penyebabnya, Wahyu mengumpat dan menulis kalimat tidak senonoh melalui status di Facebook. Sasaran pengumpatan adalah Wahyu, instruktur dan pengelola Jember Marching Band (JMB), Tri Basuki. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jember, Kamis (18 Feb. 2010), jaksa Lusiana mendakwa Wahyu dengan Pasal 310 Ayat 2 atau Pasal 311 Ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman empat tahun penjara. Perseteruan ini bermula dari kekesalan Wahyu terhadap Tri Basuki berkenaan dengan pinjam meminjam penyelaras musik. Seseorang yang meminjam penyelaras musik pada Wahyu dikembalikan pada Tri Basuki. Wahyu kesal lantaran Tri tak mengembalikan penyelaras musik pada Wahyu. Pada 28 Agustus 2009 Wahyu menumpahkan kekesalannya dengan mengumpat di Facebook. Ternyata, salah seorang anggota JMB mencetak halaman Facebook tersebut dan memperlihatkan kepada Tri. Dari sini Tri berang dan memperkarakan kasus pengumpatan itu hingga ke pengadilan. Dalam berbagai hal, seorang guru dapat mengalami situasi di mana komunikasi dengan siswa menjadi tidak efektif. Gordon dalam Santrock (2008) mengemukakan lima hal yang dapat menjadi rintangan dalam menjalankan komunikasi verbal yang efektif, yaitu kritik, pelabelan (membri julukan), menasihati, mengatur-atur, dan ceramah moral. Mengevaluasi dengan memberikan kritik kepada siswa dapat mengurangi efektivitas komunikasi, sehingga mengkritik siswa dapat dilakukan dengan meminta siswa evaluasi diri, misalnya penyebab nilai ujiannya yang buruk. Julukan atau pelabelan biasanya menjadi cara untuk merendahkan siswa dengan menggunakan kata-kata hinaan, sehingga guru harus mengontrol perkataannya dan perkataan murid agar dapat saling memahami perasaan satu sama lain. Menasihati yang dimaksud dalam hal ini adalah merendahkan orang lain lalu memberi nasihat solusi, dan mengatur-atur dapat terjadi dengan memerintahkan orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan, sehingga dapat menimbulkan resistensi. Sedangkan ceramah moral yang bersifat mengkhotbah bagi siswa dapat meningkatkan rasa bersalah dan kegelisahan pada diri siswa. Dengan demikian, seorang guru lebih baik menggunakan bahasa yang tidak terlalu menyalahkan siswa. Secara teknis, agar problem dalam pembelajaran dapat dieliminir, guru perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Guru harus benar-benar memiliki persiapan yang optimal sebelum mengajar. Guru yang benar-benar memiliki persiapan yang matang akan mudah melaksanakan variasi selama pembelajaran yang akhirnya tidak mudah menimbulkan kejenuhan bagi siswa. 2. Guru tidak cukup menguasai materi secara formal, tetapi harus menguasai materi dari aspek pengembangan (pengayaan). 3. Penyampaian materi tidak selalu dikemas dalam suasana formal dalam kelas. Metode yang bernuansa bermain atau wisata dapat dilakukan untuk semua mata pelajaran. 4. Tampilan guru yang menakutkan, sok pintar, sering merendahkan siswa segera dihilangkan. Sifat ini bisa menimbulkan kebencian kepada siswa sehingga sulit menerima materi dari seorang guru yang dibenci. 5. Jangan segan-segan memberikan pujian kepada siswa yang memang telah melakukan sesuatu yang baik meskipun sesuatu itu tidak berarti bagi guru. 6. Guru harus dapat mengurangi kecaman atau kritikan yang mematikan motivasi siswa. B. Hubungan Fungsional Antara Guru dan Siswa Pendidik dan peserta didik merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah aktivitas yang terbingkai sebagai dunia pendidikan. Masing-masing posisi yang melekat pada kedua pihak tersebut mewajibkan kepada mereka untuk memainkan seperangkat peran berbeda sesuai dengan konstruksi struktural lingkungan pendidikan yang menjadi wadah kegiatan mereka. Antara pendidik dan peserta didik terikat oleh suatu tata nilai terpola yang menopang terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan posisi yang diperankan. Semenjak penyusunan perencanaan pengajaran sampai kepada evaluasi pengajaran telah melibatkan proses hubungan timbal balik antara guru dan murid baik secara langsung maupun tidak langsung demi mencapai tujuan kegiatan. Tentu saja melihat ciri khas tujuan tersebut mengindikasikan bahwa iklim dan orientasi belajar - mengajar selalu mengupayakan terjalinnya transformasi nilai substansi pendidikan agar sampai pada level pemahaman para murid dengan indikasi terpenuhinya kriteria peningkatan kemampuan pribadi baik pada ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Selain itu proses perembesan nilai dominan tersebut tentunya menyebar dan mendapat reaksi aktif dari para peserta didik dengan beragam kemampuan, identitas, karakter individu maupun kelompok serta unsur sosial lain yang ikut terlibat dalam atmosfir orientasi edukatif rupanya berhasil menciptakan keragaman pola hubungan beserta aneka ragam hasil dari interaksi belajar mengajar antara guru dan murid di dalam lingkungan belajarnya. Semua proses itu merupakan konsekuensi logis atas terbentuknya dunia sekunder aktivitas sekelompok manusia bernama lingkungan pendidikan yang di dalamnya mencakup kompleksitas aktivitas individu, kelompok dan sub-kultur lain yang ikut terlibat. Sehingga apapun yang terlaksana juga mengikutsertakan jaring-jaring nilai, peran, status, hak dan kewajiban serta implikasi-implikasi sosial lainnya. Sebagai salah satu sistem organisasi aktivitas manusia, dunia pendidikan memiliki perangkat-perangkat sistemik yang mengikutsertakan unsur internal maupun eksternal guna membantu upaya pencapaian tujuan kelembagaannya. Dalam dimensi sosial, lembaga pendidikan merupakan bagian dari pranata sistem sosiokultural masyarakat luas yang secara spesifik bertugas memelihara kelangsungan hasil kerja peradaban masyarakat agar dirangkai menjadi ragam aktivitas belajar-mengajar demi menjamin kelestarian produk masyarakat serta kualitas manusia-manusia penerus kebudayaan. Hakikat hubungan pendidikan dengan masyarakat ini mempengaruhi eksistensi serta dinamika antarkomponen dalam wilayah internal lembaga pendidikan. Sehingga untuk hal yang lebih khusus, hubungan guru dan murid tidak lepas dari jaring pengaruh komponen lain di wilayah kelembagaanya juga kekuatan-kekuatan eksternal yang secara laten ikut terlibat aktif mewarnai dinamika interaksi guru dan murid. Sedikit ilustrasi tersebut dapat menegaskan bahwa makna kerja guru terhadap murid dalam ruang pendidikannya bukanlah sekadar aktivitas sederhana yang terisolasi dari konteks pembentuk serta keanekaragaman implikasi sosialnya. Menyadari hal demikian, kiranya dapat dipahami bahwa aktivitas belajar-mengajar antara guru dengan murid merupakan salah satu gejala social yang memiliki keterkaitan erat dengan rangkaian latar belakang serta konsekuensi sosialnya. Oleh sebab itu, dalam kerangka tersebut segi-segi hubungan guru dan murid menjadi salah satu topik bahasan dalam sosiologi pendidikan. Dalam hal ini, kacamata sosiologi pendidikan akan meneropong segala hal yang berkaitan dengan interaksi edukatif antara guru dan murid dalam konteks sosialnya. Proses belajar-mengajar akan senantiasa merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dengan siswa sebagai subjek pokoknya. Dalam proses interaksi antara siswa dan guru, dibutuhkan komponen-komponen pendukung seperti antara lain telah disebut pada ciri-ciri interaksi edukatif. Komponen-komponen tersebut dalam berlangsungnya proses belajar-mengajar tidak dapat dipisah-pisahkan. Perlu ditegaskan bahwa proses belajar-mengajar yang dikatakan sebagai proses teknis ini, juga tidak dapat dilepaskan dari segi normatifnya. Segi normatif inilah yang mendasari proses belajar mengajar. Sehubungan dengan uraian di atas, maka interaksi edukatif yang secara spesifik merupakan proses atau interaksi belajarmengajar itu, memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan bentuk interaksi lain. Djamarah (1980) merinci ciri-ciri interaksi belajar mengajar tersebut yaitu: 1. Interaksi belajar-mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud interaksi belajar-mengajar itu sadar tujuan, dengan menempatkan siswa sebagai pusat perhatian. Siswa mempunyai tujuan, unsur lainnya sebagai pengantar dan pendukung. 2. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncana, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Agar dapat mencapai tujuan secara optimal, maka dalam melakukan interaksi perlu adanya prosedur atau langkah-langkah sistematis dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang satu dengan yang lain, mungkin akan membutuhkan prosedur dan desain yang berbeda pula. Sebagai contohmisalnya tujuan pembelajaran agar siswa dapat menunjukkan letak Kota New York, tentu kegiatannya tidak cocok kalau disuruh membaca dalam hati, dan begitu seterusnya. 3. Interaksi belajar-mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal ini materi harus didesain sedemikian rupa sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Sudah barang tentu dalam hal ini perlu memperhatikan komponenkomponen yang lain, apalagi komponen anak didik yang merupakan sentral. Materi harus sudah didesain dan disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi belajar-mengajar. 4. Ditandai dengan adanya aktivitas siswa. Sebagai konsekuensi bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajarmengajar. Aktivitas siswa dalam hal ini, baik secara fisik maupun secara mental aktif. Inilah yang sesuai dengan konsep CBSA. Jadi tidak ada gunanya guru melakukan kegiatan interaksi belajar-mengajar, kalau siswa hanya pasif saja. Sebab para siswalah yang belajar, maka merekalah yang harus melakukannya. 5. Dalam interaksi belajar-mengajar, guru berperan sebagai pembimbing. Dalam peranannya sebagai pembimbing ini guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses belajar-mengajar, sehingga guru akan merupakan tokoh yang akan dilihat dan akan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. Guru (“akan lebih baik bersama siswa”) sebagai designer akan memimpin terjadinya interaksi belajar-mengajar. 6. Di dalam interaksi belajar-mengajar membutuhkan disiplin. Disiplin dalam interaksi belajar-mengajar ini diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh semua pihak dengan secara sadar, baik pihak guru maupun pihak siswa. Mekanisme konkrit dari ketaatan pada ketentuan atau tata tertib ini akan terlihat dari pelaksanaan prosedur. Jagi langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah digariskan. Penyimpangan dari prosedur, berarti suatu indikator pelanggaran disiplin. 7. Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok siswa), batas waktu menjadi salah-satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan itu harus sudah tercapai. Di samping beberapa ciri seperti telah diuraikan di atas, unsur penilaian adalah unsur yang amat penting. Dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan maka untuk mengetahui apakah tujuan proses belajar- mengajar (interaksi edukatif) sudah atau belum, perlu diketahui dengan kegiatan penilaian.. (Sudjarwo, 1993) menunjukan bahwa siswa yang memiliki frekuensi tinggi berhubungan dengan gurunya, memiliki kesempatan yang banyak untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajarinya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan interaksi sosial dengan guru akan mengakibatkan berpeluang besar untuk membesarkan medan fiducary. Atas dasar itu, maka proses interaksi sosial yang bermuatan pendidikan akan terjadi dengan munculnya proses sosialisasi. Termasuk dalam proses ini meliputi; a. Kerjasama Kerjasama yang diberi makna oleh Soekamto (1990:79) sebagai suatu usaha bersama antara perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kondisi ini jika dilihat di dunia pendidikan,maka kegiatan kokurikuler merupakan media untuk membangun hubungan kerja sama antara guru dengan murid dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. b. Akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti ( Soekamto,1990:82 ) yaitu untuk menunjukkan pada suatu keadaan, dan menunjukan pada suatu proses. Akomodasi yang menunjukan pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara para pelaku interaksi dengan nilai-nilai sosial atau norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses menunjukan pada usaha-usaha pelaku interaksi untuk meredakan sutu pertentangan karena ketidak sepahaman, guna mencapai suatu kestabilan. Akomodasi pada paparan ini lebih mengacu kepada akomodasi dalam bentuk proses. Melalui kegiatan kokurikuler diharapkan terbentuk saling pengertian antar guru dengan murid sesuai dengan posisi masing-masig.Pertentangan karena ketidak tahuan keadaan diri pada masing-masing pelaku interaksi. Dapat terjembatani oleh karena adanya kegiatan kokurikuler antara guru dengan murid. Dengan demikian kegiatan kokurikuler sbenarnya memiliki nilai positif jika dilihat dari aspek proses Belajar- Mengajar.Karena mendudukan guru dan murid pada gari sejajar. Maksudnya adalah proses belajar-mengajar adalah proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan nak didik sehingga terjadi proses belajar.Proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan murid adalah pekerjaan pendidikan yang cukup sulit. Guru dituntut untuk selalu jeli dalam rangkamempilah,lingkungan yang bagaimana yang harus diciptakan sehingga kemudian akan menjadikan proses pendidikan berlangsung. Proses penciptaan lingkungan sendiri sudah harus dikaitkan dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan atau ditinggalkan sama sekali.Mengelola keduanya untuk dapat dikaitkan dengan murid sehingga terjadi proses sosialisasi nilai. Proses sosialisasi nilai-nilai edukatif akan sangat besar peluangnya untuk terjadi jika dilaksanakan dengan pola kokurikuler.Oleh sebab itu kegiatan kokurikuler sangat menunjang untuk dapat menjadikan program pengairan diterima oleh murid. Dengan demikian itu wujud pengorganisiran lingkungan menjadi bermakna secarasosiologis apabila ada manfaat yang dapat diambi oleh siswa. Manfaat tersebut untukjangka panjang akan membawa murid mencapai kedewasaan yang mandiri. Uraian di atas menjelaskan bahwa penguatan sinergitas hubungan funtsional antara guru dengan siswa dapat dilihat pada latar belakang tugas guru sebagai pengajar dan pendidik. Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. Selain itu juga ada tugas kemanusiaan juga menjadi salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetiakawanan sosial. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilannya tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para siswanya. Para siswa akan enggan mengahadapi guru yang tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mengerti bila menghadapi guru. DAFTAR PUSTAKA Djamarah, S.B. dan Aswan Z. 1980. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Santrock, J.W. 2008. Psikologi Pendidikan.(Terjemahan) Edisi Kedua, Penerjemah Tri Wibowo. B.S. Jakarta: Kencana, 2007. Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/21/02403069/mengumpatlah.di.facebook.kau.kutangkap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar