Selasa, 11 September 2012

Masyarakat Partisipatif dan Pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Pembangunan Prioritas pembangunan daerah dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan daerah. Arah kebijakan pembangunan daerah sesuai dengan GBHN 1999-2004, secara garis besar adalah mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia (Propenas 2000-2004:27). Tujuan pembangunan daerah sesuai dengan arahan GBHN adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat dan peningkatan keswadayaan masyarakat luas dan masyarakat desa guna membantu masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan hak masyarakat untuk meningkatkan pembangunan daerah, sangat ditentukan oleh komitmen pemerintah daerah dalam memprioritaskan pelaksanaan pembangunan desa. Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang pembangunan, berikut ini penulis akan menyajikan beberapa teori dan pandangan tentang pembangunan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Pengertian pembangunan menurut Sondang P. Siagian (1994 : 2) adalah suatu usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu negara/bangsa daerah pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Pengertian ini memberikan asumsi bahwa pembangunan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara bersana-sama yang mengarah kepada modernitas yang bersifat multidimensional yaitu mencakup seluruh aspek seluruh bangsa dan negara terutama aspek pertahanan dan kemanan, aspek administrasi yang ditujukan kepada usaha untuk membina bangsa. Dengan demikian keberhasilan pembangunan itu ditentukan oleh keselarasan dan keseimbangan antara program pembangunan dengan masyarakat itu sendiri sebagai objek pembangunan. Budiman (1996:1) mengemukakan pembangunan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warga negaranya, terutama kemajuan material dalam bidang ekonomi. Sedangkan pembangunan masyarakat adalah suatu proses yang direncanakan untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi kemajuan sosial dan ekonomi untuk seluruh masyarakat dengan partisipasi aktif dan kepercayaan sepenuhnya atas prakarsa masyarakat itu sendiri (Suparlan, 1983:94). Pengertian pembangunan di atas memberikan makna bahwa dalam suatu pembangunan terdapat suatu proses atau usaha menuju perubahan, yang dilakukan melalui perencanaan dan pengembangan serta penempatan potensi yang ada, baik potensi manusia maupun potensi sosial budayanya. Potensi manusia berupa jumlah penduduk yang harus ditingkatkan pengetahuan dan kemampuannya serta keterampilannya, tertutama mengenai tingkat pendidikannya, sehingga mampu menggali, mengembangkan dan memanfaatkan potensi alam yang ada semaksimal mungkin. Chambers dalam Singh (1986:18) memberikan gambaran bahwa pembangunan desa merupakan strategi yang memungkinkan kelompok masyarakat tertentu, laki-laki dan wanita desa yang miskin untuk memperoleh apa yang mereka dan anak-anaknya iginkan dan butuhkan. Pembangunan desa juga membantu golongan yang paling miskin mencari nafkah di pedesaan, menuntut dan mengendalikan manfaat-manfaat pembangunan desa. Pelaksanaan pembangunan harus berdasarkan pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, jadi untuk melaksanakan program pembangunan harus berdasarkan pada kemauan atau kehendak masyarakat. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan pada dasarnya mengandung unsur-unsur seperti yang diuraikan berikut ini : 1. Usaha atau proses dalam jangka waktu yang lama. 2. Peningkatan, kemajuan atau perubahan ke arah perbaikan. 3. Berkesinambungan. 4. Dilakukan secara sadar atau dengan sengaja. 5. Terencana. 6. Untuk tujuan pembinaan bangsa. Pembangunan pada dasarnya diselenggarakan untuk mencapai tujuan sebagai berikut : 1. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. 2. Meningkatkan produksi kebutuhan produksi dalam negeri dan ekspor. 3. Meningkatkan daya saing dan tingkat kemampuan masyarakat memasuki era pasar bebas regional dan internasional. 4. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja melalui sistem penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha. 5. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam. 6. Menunjang pengembangan wilayah dan memperkecil ketimpangan pembangunan antar wilayah. 7. Meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja dan modal. Tujuan utama dari pelaksanaan pembangunan adalah untuk mencapai keberhasilan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari meningkatnya kesejahteraan penduduk, sedangkan tingkat kesejahteraan penduduk dapat dilihat dan diketahui melalui peningkatan tingkat pendapatan, peningkatan tingkat kesehatan, lengkapnya sarana/fasilitas yang berbagai bentuk perumahan yang ada. Keberhasilan pembangunan menurut Astrid dalam Emil Salim (1997:58) mempunyai beberapa ciri, yaitu: 1. Status sosial (baru) yang dicapai warga negaranya, dibandingkan dengan status sosial terdahulu. 2. Peningkatan pendapatan dibandingkan pendapatan terdahulu atau pendapatan sekarang jauh lebih meningkat dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh pada waktu lalu. 3. Tingkat pendidikan anak dengan orang tua. 4. Tingkat jabatan anak dibandingkan dengan orang tua. Pendapat Astrid di atas menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan dapat diketahui dari data tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat yang ada sekarang dibangdingkan dengan keadaan terdahulu, dari perbandingan pekerjaan orang tua/ayah mereka, dari perbandingan kaum profesional dan elit dewasa ini. B. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan dalam konsep masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian masyarakat anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi (Ginandjar Kartasasmita, 1996 :144). Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian yang dinamis pengembangan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru dalam pembangunan, terdiri atas beberapa sifat, yaitu people centered, partisipatory, empowering, sustainable, (Cambers dalam Ginandjar Kartasasmita, 1996 :142). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakang ini banyak dikembangkan sebagai upaya untuk mencari alternatif terhadap konsep-konsep pembangunan dan pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang disebut alternatif development, yang menghendaki inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaity (Friedmann dalam Ginandjar Kartasasmita, 1996 : 142). Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena keduanya tidak harus diasumsikan sebagai incompatible or antithetical. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap zero sum game dan trade off. Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih kuat yang menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan (Donald Brown dalam Ginandar Kartasasmita, 1996 : 143). Memberdayakan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang ini mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan msyarakat. Dalam kerangka pemikiran di atas, upaya pemberdayaan masyarakat harus dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memilili potensi yang dapat dikembangkan, artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan menjadi punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya upaya itu harus diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah positif, selain dari menciptakan iklim dan suasana. Kekuatan ini memiliki langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan dan akses berbagai peluang (oportunitis) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya, menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti hemat, bekerja keras, kebertangungjawaban adalah bagian dari pokok upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannnya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Ginandjar Kartasasmita (1996: 146) mengemukakan pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang di berbagai literatur dunia barat. Konferensi tingkat tinggi (KTT) pembangunan sosial di Kopenhagen tahun 1992 juga telah menguatkan dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak menyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan mdoel lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan dengan pandangan-pandangan dengan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tenteram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebh lanjut, disadari pula adanya bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru dalam pembangunan. Bias ini terdiri dari beberapa hal seperti yang dikemukakan Ginandjar Kartasasmita (1996 : 146), antara lain : Bias pertama adalah adanya kecenderungan berfikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih pentng dari dimensi moralnya, dimensi materilnya lebih penting dari dimensi kelembagannya, dan dimensi ekonomi lebih penting dari dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan itu ialah alokasi sumber daya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pemikiran yang demikian. Bias kedua adalah tangapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman aspirasi dari tingkat bawah (grass root). Akibatnya, kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang pertimbangan dari kondisi yang nyata dari hidup masyarakat. Bias ketiga adalah bahwa pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih memerlukan bantuan materil dari pada keterampilan teknis dan manejerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan manjerial dalam pengembangan sumber daya manusia dan mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah. Bias keempat adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan pembangunan yang di satu pihak terlalu memaksa dan menyamakan teknologi tertentu untuk kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam dalam tahap perkembangaannya ini. Bias kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang di kalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini membuat lembaga-lembaga masyarakat di lapisan bawah kurang dimanfaatkan dan kurang ada inkhtiar untuk memperbaharui, memperkuat dan memberdayakannya. Bahkan justeru terdapat kecendrungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang dan tidak sejalan dengan norma masyarakat. Bias keenam adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang dilakukan dan memperbaiki nasibnya, oleh karena itu mereka harus dituntut dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan, meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Ini tercermin pada reaksi pertama terhadap program inpres desa tertinggal (IDT) yang meragukan apakah tepat masyarakat miskin dipersilakan memilih sendiri bagaimana memanfatakan dana bantuan yag diperolehnya. Akibat dari angggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, tetapi merugikan rakyat. Bias ketujuh adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian cara penanganannya haruslah bersifat paternalistik seperti memperlakukan orang bodoh dan massa, dan bukan memberi kepercayaan. Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang sebagai usaha sosial dan bukan usaha penguatan ekonomi. Bias kedelapan adalah ukuran efisiensi yang salah diterapkan, misalnya investasi harus selalu diarahkan pada segera yang menghasilkan bagi pertumbuhan. Pada hal upaya pemberdayaan masyarakat akan menghasilan pertumbuhan bahkan sumber pertumbuhan yang lebih lestari, tetapi umumnya dalam kerangka waktu yang lebih panjang. Anggapan demikian beranjak dari konsep pembangunan yang bersifat teknis yang tidak memahami sisi sosial budaya dari pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan. Bias kesembilan adalah bahwa sektor pertanian dan pedesaan salah sektor tradisional, kurang produktif dan memiliki masa investasi yang panjang karena itu kurang menarik investasi modal besar-besaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu, bermitra dengan petani dengan usaha-usaha kecil di sektor pertanian dan pedesaan dipandang tidak menguntungkan dan memiliki resiko tinggi. Anggapan ini telah mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk membangun sungguh-sungguh usaha pertanian dan usaha kecil di pedesaan. Bias kesepuluh adalah ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana. Kecenderungan menabung pada rakyat yang cukup tinggi di Indonesia seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat di atas 30 %, termasuk tingkat tertinggi di dunia, acap kali terasa tidak berimbangi dengan kebijaksanaan investasi melalui sektor perbankan yang terpusat dengan investasi besar dan sebagian besar di dalamnya untuk investasi sektor properti yang spekulatif. Upaya memberdayakan masyarakat menurut Ginandjar Kartasasmita (1996:159) harus dilakukan melalui tiga jurusan, yaitu : 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan setiap masyarakat memiliki masing-masing potensi yang dapat dikembangkan artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena akan punah. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyrakat. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih poisitif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. 3. Memberdayakan masyarakat mengandung arti melindungi, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya menghadapi yang kuat. Makna pemberdayaan masyarakat desa adalah meningkatkan kemampuan masyarakat pedesaan dengan jalan meningkatkan kemampuan masyarakat melalui intervensi pemerintah kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan agar memiliki tingkat kemampuan yang diharapkan serta memberikan wewenang secara proporsional kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Hal ini berarti bahwa upaya pemberdayaan masyarakat desa berarti memampukan dan memandirikan masyarakat desa. Pemberian wewenang secara proporsional kepada masyarakat merupakan konsekuensi dianutnya asas desentralisasi. Pemberian wewenang tersebut dimaksudkan agar daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu upaya pemberdayaan masyarakat desa dalam konsepsi pembangunan masyarakat harus terlihat adanya 3 (tiga) aspek yaitu : 1. Upaya menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. 2. Memperkuat potensi/daya yang dimiliki melalui input berupa bantuan dana, pembangunan sarana dan prasarana fisik dan sosial serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di daerah. 3. Melindungi melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan bukan berarti mengisolasi dari interaksi masyarakat. Dengan demikian sejalan dengan paradigma “people centered development” maka esensi pemberdayaan masyarakat desa yaitu penyebaran aset ekonomi, pengembangan aset sosial, penataan aset politik, peningkatan kesadaran hukum dan kepastian hukum yang benar-benar mampu menciptakan keadilan, menciptakan kondisi yang memungkinkan budaya lokal dapat berkembang sebagai sumber kreativitas, jati diri dan kestabilan hidup masyarakat, serta pengembangan sumber daya manusia sebagai subyek pembangunan. Sehubungan dengan itu, maka dalam upaya pemberdayaan perlu adanya beberapa dukungan seperti yang digambarkan berikut ini: 1. Pengembangan kemampuan sumber daya manusia, yang membutuhkan 4 (empat) akses minimal, yaitu ; (a) akses terhadap sumber daya, (b) akses terhadap teknologi yakni suatu kegiatan dengan cara yang lebih baik dan efisien, (c) akses terhadap informasi pasar, serta (d) akses terhadap sumber pembiayaan. 2. Mengembangkan sikap aparat pemerintah pusat dan daerah (jajaran birokrasi publik) memiliki etika yang harus ditegakkan, yaitu (a) memahami aspirasi masyarakat (responsif), (b) membangun kepercayaan dan memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan perencanan dan pelaksanaan pemenuhan kebutuhan secara mandiri, (c) melakukan dialog dan memberikan informasi yang banyak namun terbaik kepada masyarakat dan (d) menciptakan instrumen dalam bentuk praturan perundang-undangan yang berpihak kepada yang lemah. 3. Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam bagi masyarakat dengan berwawasan lingkungan. 4. Peningkatan dan pengembangan potensi sosial masyarakat seperti adat istiadat, tradisi, dan budaya, nilai dan norma-norma sosial setempat dalam rangka menumbuhkembangkan swadaya gotong royong, partisipasi dan demokratisasi dalam rangka mengembangkan dinamika masyarakat dan perencanaan dari bawah (bottom up planning). Dukungan di atas menunjang proses pemberdayaan masyarakat desa sehingga masyarakat sebagai sasaran dari pemberdayaan tersebut mengalami peningkatan taraf hidupnya, baik kehidupan fisiknya maupun spiritualnya. Konteks ini mengandung makna adanya beberapa keunggulan pemberdayaan masyarakat seperti yang dikemukakan oleh David Osborne dan Peter Plastrik (2000:224), yaitu : 1. Masyarakat lebih memiliki komitmen terhadap anggotanya dibanding sistem pemberian pelayanan terhadap kliennya. 2. Masyarakat lebih memahami permasalahannya sendiri dibanding pemberi jasa profesional. 3. Profesional dan birokrasi memberikan pelayanan sedangkan masyarakat memecahkan permasalahan. 4. Lembaga dan profesional menawarkan jasa sedangkan masyarakat menawarkan kepedulian. 5. Masyarakat lebih fleksibel dan lebih kreatif dibanding pelayanan birokrasi atau profesional. 6. Masyarakat menegakkan standar perilaku secara lebih efektif dibanding birokrasi atau profesional. 7. Masyarakat memfokuskan pada kapasitas, sistem memfokuskan defisiensi. Keunggulan yang nampak pada pemberdayaan masyarakat ini jelas akan berhasil diwujudkan bila kesulitan-kesulitan yang menyertai pelaksanaan pemberdayaan dapat diatasi. Oleh karena itu dalam mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut perlu dilakukan beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh David Osborn dan Peter Plastrik (2000 : 226-227), yaitu : 1. Membuat kesepakatan yang jelas dengan masyarakat, seperti kerangka kerja fleksibel, pemberdayaan masyarakat bisa berjalan dengan baik ketika menggunakan kontrak kesepakatan tertulis yang menyebutkan secara jelas keputusan dan tugas apa yang dialihkan ke dalam fungsi kontrol publik/ masyarakat. 2. Menggunakan strategi konsekuensi untuk menetapkan pengukuran pertanggungjawaban yang jujur. 3. Menginvestasi kompetensi guna mengelola urusan masyarakat. 4. Menggunakan usaha pemberdayaan melaluioorganisasi untuk membebaskan masyarakat dari berbagai persyaratan birokratis administrasi yang ditentukan pemerintah pusat. David Osborne dan Peter Plastrik (2000:228), mengemukakan alat pemberdayaan masyarakat yang dapat dijadikan acuan konsep kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat, yakni : 1. Badan pemerintah masyarakat yang mengalihkan kontrol arah organisasi pemerintah dari pejabat dan pegawai negeri kepada anggota masyarakat untuk lebih meningkatkan fungsi kontrol sosial. 2. Perencanaan kolaboratif memungkinkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) seperti penduduk atau kelompok advokasi yang bergabung dengan pejabat pemerintah dan membuat perencanaan untuk menenuhi kepentingan masyarakat. 3. Dana investasi masyarakat berupa dana pemerintah yang dikontrol oleh badan berbasis masyarakat seperti kelompok rukun warga yang diijinkan menggunakan sumber daya tersebut untuk memperbaiki infrastruktur fisik masyarakat. 4. Organisasi dikelola masyarakat artinya organisasi yang menjalankan pelayanan publik tetapi dikelola dan dioperasikan oleh masyarakat. 5. Kemitraan pemerintah masyarakat adalah usaha patungan antara masyarakat dengan badan pemerintah yang memiliki tujuan dan operasi yang sama. 6. Pembuatan peraturan dan penegakan ketertiban berbasis masyarakat, memindahkan kontrol fungsi pembuatan peraturan dan penegakan ketertiban kepada masyarakat seperti asosiasi bisnis atau kelompok rukun warga. C. Pembangunan dan Partisipasi Masyarakat Partisipasi berasal dari kata “participate” kamus Inggris Indonesia hal 414 artinya adalah mengikutsertakan atau mengambil bagian dalam suatu proses yang akan dilaksanakan. Khusus dalam pembangunan masyarakat dan berbagai suatu kegiatan yang terus menerus memerlukan adanya penggerak dari dalam masyarakat itu sendiri. Pembangunan sebagai kegiatan yang berlangsung secara terus menerus, memerlukan adanya penggerak dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemerintah tidak bisa melakukan pembangunan tanpa dukungan parisipasi masyarakat bukan saja karena keterbatasan dana dan tenaga, tetapi karena sifat pembangunan itu sendiri. Pembangunan nasional Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, bukan saja meningkatkan pendapatan, tetapi juga harkat dan martabat (Wijaya, 1998:12). Penyelenggaraan pembangunan masyarakat desa menurut LAN RI (1999:20) mencakup tiga aspek, yaitu : 1. Adanya partisipasi aktif dari masyarakat. 2. Adanya keterpaduan dalam pelaksanaan kegiatan. 3. Adanya koordinasi yang baik untuk kegiatan. Aspek-aspek di atas jika tidak dijabarkan, maka penyelenggaraan pembangunan masyarakat desa sulit mencapai hasil yang optimal. Kalau aspek partisipasi aktif masyarakat merupakan ciri utama dalam penyelengaraan desa. Maka keterpaduan dan koordinasi merupakan fungsi utama suatu organisasi atau istansi yang secara khusu dibentuk untuk memikul tanggung jawab tersebut. Kerangka pemikiran tersebut menekankankan bahwa kebijaksanaan yang menjadikan masyarakat desa sebagai obyek dan subyek pembangunan hendaknya benar-benar dilaksanakan. Pada umumnya penduduk dililit berbagai kesulitan/ keterbatasan, bukan saja modal akan tetapi juga pengetahuan dan keterampilan, di samping juga belenggu adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak menguntungkan dilihat dari aspek pembangunan. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat desa dalam kaitan ini, maka hendaknya benar-benar diberikan jangan sampai masyarkat desa merasa bahwa pembangunan yanga a di desa mereka adalah milik orang lain, atau mereka menganggap dana yang disediakan untuk pembangunan tersebut adalah anugerah pemerintah dan mereka tinggal memanfaatkannya. Masyarakat desa dalam kaitannya pelaksanaan pembangunan, tidak boleh sampai menjadi apatis atau selalu bergantung kepada pemerintah. Dari aspek kepentingan kelanjutan pembangunan desa yang aprtisipatif menuju ke arah kemandirian, pada dasarnya mencakup beberpa komponen, baik komponen fisik maupun non fisik, seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto (1994:69-70), meliputi: 1. Kualitas kehidupan fisik, ini berarti bahwa pembangunan manusia dapat dikatakan berhasil apabila ada peningkatan mutu kehidupan fisik setiap anggota masyarakat, antara lain ; mencakup mutu lingkungan fisik, pola komsumsi dan rasa aman dari gangguan-gangguan fisik. 2. Mata pencaharian, bahwa pembangunan harus mampu meningkatkan secara terus menerus jumlah penduduk yang semakin mudah memperoleh nafkah. Ini berarti bahwa pengangguran yang meningkat adalah merupakan minus yang menurunkan mutu kehidupan fisik manusia. 3. Individualitas dan kebebasan memilih, bahwa pembangunan yang berhasil berarti meningkatnya bagian penduduk yang semakin mampu menentukan nasibnya dan menentukan hari depan anak-anaknya. 4. Pengembangan diri, bahwa pembangunan yang berhasil harus mampu meningkatkan jumlah penduduk yang kesadaran linkgungannya semakin besar, dan mampu berupaya untuk meningkatkan keterampilannya, di samping itu berkembangnya solidaritas social. 5. Pemekaran kehidupan social politik, bahwa pembangunan yang berhasil harus pula berarti ada pertambahan jumlah yuang semakin ikut serta secara aktif dalam putusan-putusan politik yang menyangkut nasib mereka. Hal tersebut bisa dicapai bila pemerintah harus aktif dan terlihat langsung dalam proses pembangunan terutama dalam usaha perlindungan kepentingan dan hak-hak kelompok masyarakat yang lemah, tetapi harus dijaga jangan sampai tindakan pemerintah membuat masyarkat desa menjadi manja, apatis dan selalu tergantung kepada pemerintah. Masyarakat desa hendaknya diberi kesempatan untuk melihat dan memahami pilihan-pilihan yang tersedia dan kemudian diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara pembangunan, terutama instansi terkait, bahwa proses pembangunan yang menyangkut kepentingan masyarakat pedesaan, yaitu memerlukan suatu pola, model, patron dan teknik melalui koordinasi antara sektor. Tingkat daerah/wilayah (daerah propinsi dan kabupaten) dapat menyelenggarakan koordinasi secara fungsional dan inisiatif, terutama bagi maisng-masing penyelenggaraan di tingkat pemerintah daerah. Pembangunan regional, pembangunan daerah dan pembanguan desa bahkan pembangunan suatu proyek dari suatu sektor saja pada masa ini sudah sangat memerlukan kordinasi. Penekanan dalam hal ini diletakkan pada perumbuhan dan distribusi secara adil dan merata. Samodra (1991:14) menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan menyatakan sasaran-sasaran dari program pembangunan desa terpadu, aytiu : (1) peningkatan produksi dan produktivitas penduduk, (2) pemerataan, (3) memperluas lapangan kerja, (4) meningkatkan kemandirian, serta (5) memperluas partisipasi masyarakat. Dengan demikian pendekatan terpadu terhadap pembangunan pedesaan ini mutlak dilakukan. Keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan terpadu pedesaan tersebut sangat ditentukan oleh satu hal yang penting yaitu koordinasi lintas sektoral dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan. Konsep pembangunan yang partisipatif ini memberikan pemahaman bahwa sasaran dan tujuan dari pembangunan desa terpadu akan terwujud jika masyarakat berpartisipasi dalam proses pembangunan desa secara aktif. Partisipasi ini diharapkan mulai dari pengambilan keputusan dalam penentuan sasaran dan tujuan pembangunan, pada tahap pelaksanaan, monitoring/pengawasan, evaluasi pembangunan serta dalam merasakan hasil pembangunan. D. Strategi Pembangunan Masyarakat Program pembangunan masyarakat desa dapat dilihat sebagai dua struktur yang berbeda, yaitu pembangunan top down dan button up. Perlui diketahui masyarakat desa berkembang internal melalui struktur dan pranata yang ada, melalalui pengaruh, pembinaan dari perspektif pembangunan top down, yang dilakukan pemerintah sebenarnya ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan pemrintah untuk mensejahterakan masyarakat. Perspektif ini melihat bahwa struktur dan pranata yang dipunyai oleh masyarakat desa, dilihat kurang selaras dengan keudayaa statis dan kurang tanggap terhadap program pembangunan. Di samping itu yang menyebabkan kurang berhasilnya strategi tersebut adalah karena banyaknya program pembangunan desa kurang koordinasi secara sistimatik, kurangnya komunikasi warga masyarakat tentang apa kebutuhannya. Oleh karena itu perlu adanya perubahan struktur pembangunan desa dari model pembangunan top down menjadi button up. Dari model button up ini akan terlihat adanya pendekatan ketrpaduan yang diawasi oleh instasni pemerintah menjelang penyusunan program, sehingga keseluruhan kebutuhan masyarakat dapat terakomodir di dalam perencanaan terseut, dan akan tercipta koordinasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat. Model button up ini akan terhindar dari timpang tindih antara sektor yang membebani desa. Dan yang menghambat pembangunan dapat ditiadakan. Dengan demikian keterpaduan pembangunan dan keberhasilan akan dapat lebih tercapai. Keberhasilan pembangunan desa akan mudah dicapai bila pendekatan button up yang diterapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar