Selasa, 11 September 2012

Tragedi Masyarakat Modern dan Moralitas Generasi Bangsa

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dewasa ini kehidupan masyarakat Indonesia dilanda krisis dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang ekonomi ditandai oleh adanya praktek monopoli (penguasaan asset kekuasaan oleh segelintir orang), persaingan yang tidak sehat, saling menipu, korupsi dan kolusi. Dalam bidang politik ditandai oleh adanya konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang, pemerintahan yang otoriter dan kurang berkembangnya semangat musyawarah.
Krisis dalam bidang sosial ditandai oleh adanya kesenjangan sosial, kurang harmonisnya hubungan antara sesame bangsa dan disintegrasi nasional. Dalam bidang hukum ditandai oleh adanya diskriminasi penegah hokum dalam memperlakukan masyarakat yang memerlukan bantuan hukum cenderung berpihak kepada yang lebih kuat, kurang menegakkan keadilan dan sebagainya. Dalam bidang kebudayaan ditandai oleh adanya kebudayaan hedonistik, mengabdi kepada pemuasan hawa nafsu dan bebas nilai. Sementara dalam bidang ilmu pengetahuan ditandai oleh adanya dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama yang melahirkan manusia yang haus akan kekuasaan dan kepentingan. Pikiran selalu dirasuki hawa nafsu selalu ingin mencapai apa yang diinginkan meskipun harus merampas hak-hak orang lain.
Suatu kenyataan tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju, yaitu adanya kontradiksi-kontradiksi yang menganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Apa yang dahulu belum dikenal manusia, kini sudah tidak asing lagi baginya. Bahaya kelaparan dan penyakit menular yang dahulu sangat ditakuti, sekarang telah dapat dihindari. Kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya alamiah yang dahulu menyulitkan dan menghambat pembangunan, sekarang tidak menjadi soal lagi. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya.
Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya, akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material terganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.

Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan suatu ilmu pengetahuan dan teknologi canggih yang diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan, namun pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu menumbuhkan moralitas (akhlak) yang mulia, bahkan justeru sebaliknya apa yang ilmu pengetahuan yang sifatnya sekuler dari dunia barat cenderung membentuk karakter dan jiwa yang resah, renggut dan rusak (Andi Agustang, 2009;12).
Saat ini di Indonesia, gejala kemerosotan akhlak sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang yang dulunya masih nampak kokoh dan kuat mewarnai perilaku masyarakat, kini sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan dan saling merugikan. Adu domba, fitnah, perampasan hak orang lain dan perbuatan lainnya yang berujung pada konflik, setiap waktu menjadi pewarna pergaulan hidup masyarakat.
Gejala kemorosotan akhlak tersebut, dewasa ini bukan saja menimpa kalangan dewasa, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar tunas muda generasi bangsa. Orang tua, ahli didik dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak mengeluhkan terhadap perilaku sebagian pelajar yang berperilaku nakal, keras kepala, mabuk-mabukan, tawuran, pesta obat-obatan terlarang yang berjung pada gaya hidup hedonis seperti di Eropa dan Amerika.
Gejala ini merupakan suatu tragedi dalam kehidupan masyarakat dan disebabkan oleh berbagai faktor yang kini mempengaruhi cara berpikir masyarakat seperti kebutuhan hidup yang semakin meningkat, rasa individualistis dan egoistis, persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama (Zakiah Drajat, 1984:88).
Sejalan dengan fenomena sosial yang diungkap di atas, penulis akan mencoba memberikan solusi untuk mengatasi tragedi masyarakat modern dengan menfokuskan kajian pada upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan agama melalui konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan sekaligus sebagai solusi membentuk akhlak bangsa yang berakal dan berperadaban.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam tulisan ini dibatasi pada pengungkapan tragedi masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa serta merumuskan konsep penanganan tragedi tersebut.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui tragedi perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa.
b. Untuk mengetahui hal-hal yang dilakukan dalam menangani perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa.
2. Kegunaan Penulisan
a. Sebagai prasyarat/pengganti ujian semester pertama PPS UNM mata kuliah filsafat ilmu.
b. Sebagai tambahan literature dala ilmu pengetahuan (terutama sosiologi) terutama menyangkut perilaku masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Tragedi Perilaku Masyarakat Modern dan Moralitas Generasi Bangsa
1. Tragedi Perilaku Masyarakat Modern
Giddens (1991:32) mendefenisikan dunia modern sebagai dunia refleksif, artinya diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah dan dibentuk. Tak hanya individu bertanggungjawab untuk menciptakan dan memelihara kedirian, tetapi tanggung jawab ini pun berlanjut dan mencakup semuanya (all perpasive). Diri adalah produk dari eksplorasi dan produk dari perkembangan hubungan sosial yang intim. Dalam kehidupan masyarakat modern manusia tertarik ke dalam sebuah organisasi refleksif kehidupan sosial.
Dunia modern menimbulkan keterasingan pengalaman (sequestration of experience) atau proses yang berkaitan dengan penyembunyian yang memisahkan rutinitas kehidupan sehari-hari dari fenomena-fenomena sosial seperti kegilaan, kriminalitas, penyakit dan kematian serta seksualitas. Keterasingan terjadi sebagai akibat dari meningkatnya peran sistem abstrak dalam kehidupan sehari-hari. Keterasingan ini membawa kepada rezeki yang mengesampingkan kehidupan sosial dari masalah eksistensial fundamental yang menimbulkan dilema moral bagi umat manusia.
Modernitas dengan segala konsekuensinya seperti pedang bermata dua, yaitu membawa perkembangan positif dan negatif yang melandasi munculnya bayangan ancaman ketidakberartian pribadi. Segala sesuatu yang berarti telah diasingkan dari kehidupan sehari-hari yang berujung pada penindasan diri pribadi. Kehidupan modern adalah kehidupan yang ditandai dengan adanya de-moralisasi, moralisasi yang tersingkir diganti dengan pola perilaku yang bertentangan dengan nurani manusia secara umum.
Perilaku masyarakat yang muncul dalam dunia kemodernan mengarah pada tranformasi keintiman yang terus menerus menuju pada keintiman tanpa adab atau biasa diistilahkan dengan kebebasan seksual. Tatanan kehidupan masyarakat yang dulunya rapi, tertib dan teratur, kini telah rapuh dan hilang oleh suatu kemodernan, layaknya seperti di negara barat yang tidak mengenal lagi ruang dan waktu. Paling mengkhawatirkan lagi karena kondisi ini memasuki kehidupan masyarakat yang bukan hanya berada di daerah perkotaan tetapi juga sudah merambah ke daerah-daerah pedesaan, akibatnya masyarakat semakin menikmati hidup dengan bebas.
Perilaku seperti di atas oleh Abuddin Nata sudah dianggap sebagai suatu tragedi perilaku masyarakat modern karena sudah di luar kezaliman nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang yang dulunya masih nampak kokoh dan kuat mewarnai perilaku masyarakat, kini sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan dan saling merugikan. Adu domba, fitnah, perampasan hak orang lain dan perbuatan lainnya yang berujung pada konflik, setiap waktu menjadi pewarna pergaulan hidup masyarakat.

2. Moralitas Generasi Bangsa
Dalam pacuan adab dan teknologi yang terus berlangsung dengan cepat seperti di era modern ini, permasalahan etika dan moral semakin mendapat perhatian serius oleh berbagai kalangan, baik di negara-negara maju maupun di Negara-negara yang sedang berkembang. Etika dan moral oleh ahli barat sering disebut sebagai akar dari spiritualisme, diyakini sebagai panduan dari rambu-ramnbu yag efektif bagi umat manusia di dalam menjalankan kehidupan agar tidak terjerumus ke dalam kehancuran, sebab etika dan moral mencegah manusia memperturutkan hawa nafsunya.
Nilai-nilai yang dibawa oleh standar etika dan moral itu sesungguhnya sangat baik. Demokrasi menghargai perbedaan di dalam masyarakat sehingga rejim otoriter tidak ada tempatnya di muka bumi ini. Prinsip HAM menempatkan seluruh umat manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama di muka bumi ini sedangkan tata kelola perusahaan berisikan standar pengelolaan perusahaan yang hati-hati, taat aturan dan transparan.
Namun dibalik perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibungkus dengan kemodernan mampu meretas kekakuan bergaul generasi muda (remaja) secara umum. Mereka diperhadapkan pada gaya hidup modern yang tidak lagi berprinsip pada etika dan moral, mereka bergaul dan berinteraksi dengan mengedepankan prinsip pola hidup orang barat, yang tidak mengenal lagi saling menghargai. Prinsip-pinsip humanistik dalam bentuk menghormati orang tua tidak lagi nampak di kehidupan generasi. Mereka larut dalam kehidupan bebas, material, dan komsumsif.

B. Usaha yang Dilakukan dalam Mengatasi Tragedi Perilaku Masyarakat Modern dan Moralitas Generasi Bangsa

1. Pengenalan Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa yang sudah berada pada ambang mengkhawatirkan akan membuka peluang terbentuknya manusia yang tidak beradab dan buta moralitas, apalagi diwarnai dengan perilaku penyimpangan yang terkadang mengarah kepada kekerasan maupun konflik. Oleh karena itu harus ada solusi yang ditawarkan guna meredam masalah ini, yaitu dengan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respons terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena ilmu pengetahuan yang lahir dalam kerangka pendidikan Barat bertumpu suatu pandangan dunia yang bersifat materialistis dan relativistis yang menganggap bahwa ilmu bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia dank arena itu hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif dan bukan harmonis.
Islamisasi ilmu pengetahuan mencoba mencari akar-akar tragedi perilaku masyarakat modern dan krisis moralitas generasi bangsa yang dapat ditemukan di dalam basis ilmu pengetahuan, yaitu konsepsi atau aumsi tentang realitas yang dualitistis dan sekularitas.
Abuddin Nata (2003:96) merangkai Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai suatu upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi atau penafsiran Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam. Selain itu Islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai reaksi terhadap adanya konsep dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dimasukkan masyarakat Barat dan budaya masyarakt modern. Mereka memandang sifat, metode, struktur sains dan agama jauh berbeda. Agama mengasumsikan atau melihat sesuatu persoalan dari segi normative sedangkan sains meneropongnya dari segi onyektifnya. Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui eksperimen dan rasio manusia. Karena ajaran agama diyakini sebagai petunjuk Tuhan, kebenaran dinilai mutlak sedangkan kebenaran sains relatif. Agama banyak berbicara yang gaib sedangkan sains berbicara mengenai hal yang empirik.
Pengembangan ilmu seperti ini dinamakan Ilmu Tauhidullah (Andi Agustang, 2009:25) yang dibedakan atas tiga, yaitu:
1) Wahyu (Al Qur’an dan Hadits yang dituangkan dalam bentuk nas-nas).
2) Wahyu-wahyu ini pulalah yang memandu inferensi ke arah mana premis-premis itu didesuksi.
3) Hasil deduksi, setelah verifikasi (berdasarkan data pada data-data empirikal) perlu divalidasi kembali oleh nas-nas Al Qur’an dan Hadist.

Persepsi lain yang dimunculkan dalam tulisan ini sejalan dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah kecerdasan transendental. Transendental secara harfiah berarti sesuatu yang teramat penting, hal-hal yang di luar kemampuan manusia biasa untuk memahaminya. Sedangkan kecerdasan transendental kemampuan umat manusia secara individu dan kolektif (berjamaah) untuk memahami dan melaksanakan aturan Tuhan untuk mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan dunia akherat.
Ketika kita berbicara transendental, maka kita berbicara tentang dimensi Ketuhanan. Yang berlaku adalah aturan dan ketentuan Tuhan, bukan lagi sekedar nilai-nilai kebaikan atau norma-norma kehidupan dalam perpektif manusia. Bukan pula sekedar etika dan nilai-nilai moral dalam HAM, tetapi semuanya di bawa ke dimensi yang lebih tinggi untuk mendapatkan pengesahan benar dan salah, karena aturan dan ketentuan Tuhan, maka itulah kebenaran yang berlaku di alam semesta tidak hanya di muka bumi semata.
Kecerdasan transedental memposisikan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan sehingga ada aturan-aturan tuhan yang harus diikuti. Kita berbicara tentang agama yang memuat aturan-aturan Tuhan dalam kitab sucinya. Logika kehidupan adalah segala sesuatu yang ada di dunia harus tunduk patuh kepada aturan dari yang menciptakannya. Ketika manusia menciptkan pesawat terbang, maka ada aturan-aturan atau prosedur bagi pesawat terbang untuk bisa terbang, mendarat dengan mulus, ketentuan perawatan dan seterusnya.
Dalam perspektif sejarah, sains dan teknologi modern yang telah menunjukkan keberhasilanya dewasa ini mulai berkembang di Eropa dalam rangka renaissance yang berhasil menyingkirkan peran agama dan mendobrak dominasi gereja Roma dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat Eropa sebagai sikap gereja yang memusuhi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat mengalami perkembangan setelah memisahkan diri dari pengaruh agama.
Dalam perkembangannya, sains dan teknologi modern dipisahkan dari agama, karena kemajuannya yang begitu pesat di Eropa dan Amerika sampai sekarang ini selanjutnya digunakan untukmengabdi kepad kepentingan manusia semata-mata, yaitu untuk tujuan memuaskan hawa nafsunya, menguras isi alam untuk tujuan memuaskan nafsu konsumtif dan materialistic, menjajah dan menindas bangsa-bangsa yang lemah, melanggenakn kekuasaaan dan tujuan-tujuan destruktif lainnya. Penyimpangan dari tujuan penggunaan ilmu pengetahuan inilah yang direspon pula dengan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu barat yang meninggalkan unsur agama adalah suatu kekeliruan, karena ilmu termasuk perintah Allah SWT, yang harus dilakukansejauh kemampuan individu. Ilmu termasuk ciptaan Allah SWT, berupa firman Allah yang tidak berubah-ubah sepanjang zaman. Ini adalah kebenaran yang diperintahkan kepada manusia untuk mengungkapkannya. Segala yang menyimpang daripadanya adalah kekeliruan, baik itu kekeliruan dalam bentuk besar maupun kecil termasuk keberadaan ilmu barat yang tidak berpedoman pada agama (Andi Agustang, 2009;23).

2. Strategi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Konsep ajaran Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan didasarkan pada beberapa prinsip, yaitu:
a. Ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi.
Teologi bukan hanya semata-mata meyakini adanya Tuhan dalalm hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teknologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam perihal hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya.
Teologi yang memunculkan kesadaran yakni suatu matra yang paling dalam diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu, karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis. Dengan pandangan teologi ini, maka alama raya, manusia, masyarakat dan Tuhan merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan. Alam raya terikat oleh hukum alam yang dalam pandangan Islam adalah sunnatullah, aturan Allah dan ayat Allah.
Alam raya ini selanjutnya menjadi objek kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam (sains) seperti ilmu fisika, biologi dan sebagainya. Demikian pula manusia dalam pandangan Islam adalah merupakan ciptaan Allah. Secara fisik manusia terikat oleh sunnatullah dan secara psikis ia terikat oleh nilai-nilai ilahiah atau kecenderungan kepada agama dan kebenaran.
Dengan demikian manusiapun merupakan ayat Allah. Orang yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Manusia ini secara ontologis sebagai objek kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dari segi fisiknya dan sebagai objek kajian ilmu psikologi dari segi jiwanya dan ilmu-ilmu sosial dari segi perilaku dan interaksinya dengan sesama manusia lainnya. Dengan demikian manusia adalah sebagai miniatur alam (makrokosmos) yang di dalam dirinya Tuhan menunjukkan kekuasaannya. Selanjutnya masyarakat tempat manusia saling berinteraksi juga terikat oleh hukum-hukum Allah. Dan Tuhan itu sendiri dalam pandangan Islam adalah merupakan sumber yang dari pada-Nya manusia memperoleh pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

b. Ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan beribadah kepada Allah SWT.
Hal ini penting dilakukan karena dorongan Al Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan perhatian dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Menyesuaikan motivasi pengembangan ilmiah dengan ajaran Islam selain akan meningkatkan kunatitas dan kualitas ilmiah karena motivasi utama tidak tidak untuk mendapatkan popularitas dan imbalan materi atau sekedar ilmu untuk ilmu , melainkan pengembangan ilmu yang didorong oleh keikhlasan dan rasa tanggung jawab kepada Allah. Motivasi pengembangan ilmu yang sejak dahulu dipraktekkan oleh para ilmuwan Muslim seperti Al Farabi, Ibn Rusyd, Ibnu Sina dan lainnya itu hendaknya dijadikan pegangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak akan digunakan untuk tujuan-tujuan yang membahayakan dan merugikan manusia serta lainnya bertentangan dengan kehendak Tuhan.

c. Reorientasi pengembangan ilmu pengetahuan harus dimulai denga suatu pemahaman yang segera dan kritis atas epistimologi Islam.
Perubahan harus ditafsirkan dalam rangka struktur fisik luarnya dan infrastruktur dari gagasan epistimologi Islam yang abadi harus dipulihkan dalam keseluruhannya. Dalam kaitan ini, maka pengembangan ilmu pengetahuan dalam bentuk lahiriyahnya, jangan sampai menghilangkan makna spiritualnya yang abadi, yakni sebagai alat untuk menyaksikan kebesaran Tuhan.
Roger Garaudi misalnya mengataka bahwa setiap ilmu di samping memiliki makna intelegible (dapat dipikirkan), juga mengandung makna sensible (dapat dirasakan). Angka satu misalnya adalah merupakan permulaan perhitungan yang melambangkan adanya Tuihan sebagai awal segala sesuatu.

d. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan akal dengan kecerdasan moral yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.
Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad klasik di mana para ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi senantiasa taat beribadah kepada Allah dan memiliki kesucian jiwa dan raga.
Mereka menulis karya ilmiah sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Sedangkan membahasa berbagai masalah ilmu pengetahuan dinilainya sebagai tasbih. Mereka memelihara dirinya dari perbuatan dosa dan hal-hal lain yang dilarang oleh Allah, bahkan jika mereka mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu masalah, mereka mengatasinya dengan shalat, berdo’a dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mohammad Athoyah Al-Abrasyi misalnya menginformasikan tentang kebiasaan Ibn Sina jika menemui kesulitan ia pergi ke mesjid kemudian berwudhu, shalat (hajat) dan berdoa hingga sesuatu yang menutupi kecerdasannya dapat tersingkap.
Kebiasaan yang senantiasa menjaga kesumeningcian jiwa dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan juga dilakukan oleh Imam Syafi’I dan pernah berkata : “aku mengeluh kepada guru bernama waqi karena betapa sulitnya aku menguasai pelajaran. Guruku itu menyarankan kepadaku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat dan mengajarkan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan orang yang berbuat maksiat.

e. Ilmu Pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integaral.
Integral yang dimaksud yaitu antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun hakikatnya sama, yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaaan Allah. Dengan pandangan yang demikian, maka tidak ada lagi perasaan yang merasa lebih unggul antara satu dengan yang lainnya.
Ilmu agama berkaitan dengan pembinaan mental, moral dan ketahanan bathin. Sedangkan ilmu-ilmu umum berkaitan dengan pembinaan fisik, intelektual dan keterampilan. Satu sama lain ilmu tesebut berasal dari Allah dan harus diabdikan kepada Allah.
Dengan menerapkan strategi pengembangan ilmu pengetahuan berbasis Agama (Islam) maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna untuk mengatasi problema kehidupan masyarakat modern, dengan alasan :
1. Ilmu pengetahuan tersebut akan terus berkembang dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, karena hanya ajaran Islamlah ajaran yang paling mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Masyarakat modern akan mendapatkan momentum kejayaan dan kesejahteraan yang seimbang antara kesejahteraan yang bersifat material dan kesejhateraan yang bersifat spiritual.
3. Masyarakat modern akan merasakan tumbuh menjadi suatu kekuatan yang antara satu dengan lainnya saling membantu melalui ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
4. Islamisasi ilmu pengetahuan akan berdampak pada timbulnya konsep pendidikan yang integrated antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan cara demikian dikotomi kedua ilmu tersebut akan hilang dengan sendirinya.































BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Tragedi perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa adalah merupakan perilaku dan moral yang tidak sesuai dengan agama, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, seperti penyelewengan, penipuan, penindasan dan saling merugikan, adu domba, fitnah, perampasan hak orang lain dan perbuatan lainnya yang berujung pada konflik, serta krisis moral/dekadensi moral pada generasi bangsa.
2. Hal-hal yang dilakukan dalam menangani perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa adalah dengan melakukan Islamisasi Ilmu Pengetahuan karena penyebab dari tragedi perilaku dan moralitas inilah adalah terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan barat yang hanya mengejar kesenangan dunia. Sementara dengan mengIslamisasikan ilmu pengetahuan maka akan mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat.

B. Saran-saran
Sehubungan dengan tulisan ini, maka disarankan kepada:
1. Kaum akademisi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menjadikan Islam sebagai landasan dan dasar pijakan yang utama, karena ilmu yang bersumber dari Islam adalah ilmu yang hakiki dan berlaku sepanjang zaman.
2. Pembaca makalah ini agar mulai dari sekarang untuk respon terhadap tulisan-tulisan yang bertemakan Keislaman dan mengamalkannya guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.



















DAFTAR PUSTAKA


Agustang, Andi. 2009. Ilmu Barat Vs Ilmu Tauhidullah; Bahan Kuliah PPS UNM Pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu.

Drajat, Zakiah. 1984. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Ruhama. Jakarta.

Giddens, Anthony. 1991. Modernitas dan Identitas Diri. Stanford University Press. California.

Hanafi, Hassan. 1991. Agama. Ideologi dan Pembangunan. P3M. Jakarta.

Nata, Abuddin. 2003. Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Kencana. Jakarta.

Ritzer G dan Douglas J.G. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.

Syahmuharnis dan Harry Sidharta. 2007. Trancendental Quotient. Republika. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar