Senin, 07 November 2011

Perbedaan Teori Konflik dengan Struktur Fungsional

Perbedaan Teori Struktural Fungsionalisme dengan Teori Konflik

Teori struktural fungsionalisme atau pendekatan konsensus berakar pada pandangan-pandangan mengenai masyarakat yag dikemukakan oleh Auguste Comte, Emile Durkheim, Herbert Spencer dan Talcott Parsons. Selanjutnya dikembangkan oleh Robert K. Merton, Jeffrey C. Alexander dan Niklas Luhmann.
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsionalisme, yang berakar pada pandangan Karl Marx mengenai masyarakat dan diperkaya oleh Max Weber dan Georg Simmel, yang selanjutnya dikembangkan oleh Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dan Jonathan Turner. Teori struktural fungsionalisme dan teori konflik jika dibandingkan dari berbagai dimensi memiliki perbedaan, yaitu:
Dimensi Teori Struktural Fungsional Teori Konflik
Pandangan mengenai masyarakat Stabil, terintegrasi secara baik Ditandai oleh adanya ketegangan dan konflik antar kelompok
Pandangan mengenai individu Individu anggota masyarakat disosialisasi untuk menunjukkan fungsi sosialnya Individu anggota masyarakat diatur melalui kekuasaan, paksaaan, dan kewenangan
Pandangan mengenai tata sosial Tertib sosial terpelihara melalui kerja sama dan konsensus Tertib social terpelihara melalui kekuasaan, kekuatan dan paksaan
Pandangan mengenai perubahan sosial Statis, berubah secara seimbang, dapat diperkirakan Perubahan dapat terjadi di setiap waktu dan mungkin memiliki dampak positif
Konsep-konsep kunci Sistem sosial, keseimbangan, stabilitas, pembagian kerja, fungsi manifest, fungsi laten dan disfungsi sosial Kekuasaan, eksploitasi, persaingan kepentingan, ketidaksamaan social, penaklukan kelompok dan alienasi
Dimensi Teori Struktural Fungsional Teori Konflik
Tokoh perintis Auguste Comte, Emile Durkhkeim, Herbert Spncer Karl Marx, Max Weber, Georg Simmel
Tokoh penerus Talcott Parsons, Robert K. Merton, Jefrey C. Alexander, Niklas Luhmann Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, Joseph Hims, Jonathan Turner, Barrington Moore, Jeffrey Paige, Theda Sockpol
Sumber: diolah berdasarkan Ritzer & Goodman (2008:153) dan Nasikun (1992:11)

A.Teori Struktural Fungsionalisme
Menurut teori struktural fungsionalisme, masyarakat pada dasarnya meruakan jaringan dari bagian-bagian yang saling terkait, setiap bagisan menyumbang pada pemeliharaan sistem secara keseluruhan. Masyarakat pada dasarnya akan selalu bergerak kea rah interaksi yang mempersatukan (integrative). Integrasi merupakan bentuk dasar interaksi masyarakat.
Meskipun integrasi merupakan bentuk dasar masyarakat, namun tidak berarti dalam masyarakat tidak ada ketegangan-ketegangan antarwarga. Karena berbagai sebab, ketegangan dan konflik akan terus terjadi dalam masyarakat. Namun demikian, ketegangan dan konflik tersebut akan lenyap. Masyarakat akan kembali berada dalam keseimbangan. Hal ini terjadi karena dala setiap sistem sosial terdapat konsensus atau kesepakatan di antara warga masyarakat mengenai nilai-nilsi dasar yang menjadi pondasi sistem sosial. Konsensus itulah yang menjadikan warga masyarakat memiliki komitmen untuk mengatasi perbedaan dan konflik mereka.
Selain itu, keseimbangan juga dapat terwujud karena setiap sistem sosial memiliki mekanisme yang mengarahka keinginan-keinginan warga menuju terpeliharanya sistem sosial. Mekanisme sosial tersebut adalah sosialisasi dan kontrol sosial. Melalui sosialisasi, warga masyarakat belajar tentang norma-norma sosial yang berlaku.
Teori struktural fungsionalisme sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar, yaitu:
1.Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2.Dengan demikian hubunga pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
3.Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya, hanya akan mencapai derajat yang minimal.
4.Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
5.Perubahan-perubaha di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
6.Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan: (a) penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar, (b) pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsionalisme, (c) penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7.Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar tertentu terhadap sebagian besar anggota masyarakat menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang mutlak benar.
Dengan cara lain dapat dikatakakan bahwa suatu sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut adalah apa yang dikenal sebagai norma-norma sosial yang pada akhirnya membentuk struktur sosial.

B.Teori Konflik
Menurut paham ini, konflik selalu terkait dengan kekuasaan. Dalam masyarakat selalu ada kelompok warga yang memiliki kekuasaan dan yang tidak. Dengan kata lain ada ketidakmerataan pembagian kekuasaan, Kedua kelompok ini memiliki kepentingan berbeda, kelompok pemilik kekuasaan berkepentingan untuk memelihara dan mengukuhkan pola-pola hubungan kekuasaan yang ada dan menguntungkan mereka. Sedangkan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan berkepentingan untuk mengubah pola-pola hubungan kekuasaan itu.
Pandangan teori konflik berpangkal tolak pada anggapan-anggapan dasar bahwa:
1.Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
2.Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3.Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4.Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.
Perubahan social oleh para penganut faham ini tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, akan tetapi lebih daripada itu malahan dianggap bersumber di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat itu sendiri yang saling bertentangan.
Pendekatan konflik terhadap stratifikasi dapat diturunkan menjadi tiga prinsip, yaitu; (a) orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri, (b) orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu, (c) orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akibatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik antar individu semakin besar.
Pada dasarnya konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat terdiri atas sembilan tahap, yaitu :
1.Sistem sosial tersusun atas sejumlah unit yang saling tergantung satu sama lain.
2.Ada ketidaksamaan distribusi mengenai sumber-sumber langkah yang bernilai di antara unit-unit tersebut.
3.Unit-unit yang menerima pembagian sumber-sumber secara tidak proporsional mulai mempersoalkan legitimasi dari sistem sosial yang ada.
4.Masyarakat yang tidak berpunya mulai menyadari bahwa ada kepentingan bagi mereka untuk mengubah sistem lokasi sumber-sumber yang ada.
5.Mereka yang tidak berpunyai mulai menjadi emosional.
6.Secara berkala muncul ledakan frustrasi, seringkali tidak terorganisasi.
7.Intensitas keterlibatan mereka dalam konflik semakin meningkat dan keterlibatan tersebut semakin emsosional.
8.Berbagai upaya dibuat untuk mengorganisasikan keterlibatan kelompok tak berpunya dalam konflik tersebut.
9. Akhirnya, konflik terbuka dalam berbagai tingkat kekerasan terjadi diantara mereka yang tidak berpunya dan mereka yang berpunya.
Namun demikian tidak semua konflik mengarah pada akibat negative tetapi juga mempunyai fungsi-fungsi positif (konflik fungsional). Salah satunya adalah mengurangi ketegangan dalam masyarakat, serta mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial.

















DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Remaja Rosda Karya. Bandung.

Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

Ritzer George & Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern; Edisi Keenam, Diterjemahkan oleh Alimandan. Kencana. Jakarta.

Saptono & Bambang Suteng S. 2006. Sosiologi. Phibeta. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1982. Teori Sosiologi Tentang Peribadi dalam Masyarakat. Ghalia Indonesia. Jakarta.

________________. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar; Edisi Keempat. Rajawali Pers. Jakarta.

Suzan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-isu Kontemporer. Kencana. Jakarta.

TEORI PERILAKU DAN TEORI KOGNITIF SOSIAL

TEORI PERILAKU DAN TEORI KOGNITIF SOSIAL

Tema pokok tulisan ini adalah pembelajaran, dan initinya adalah apakah yang dapat guru lakukan untuk mendukung pembelajaran seluruh siswa. Bab ini merupakan bagian pertama dari tiga pengembangan gambaran teoritis topik tersebut. Kita mulai bagian ini dengan penjelasan teori belajar dalam perspektif behavioris dan diikuti oleh pembahasan mengenai teori kognitif sosial, sebuah gambaran pembelajaran yang mencakup unsur-usur perilaku tetapi hal tersebut harus melalui proses pengujian semacam kepercayaan dan harapan-harapan, yang tidak dipertimbangkan oleh kaum behavioris.
Dengan selesainya pembahasan bab ini, diharapkan mampu menemukan bagian-bagian berikut:
- Mengidentifikasi contoh-contoh pembasan klasik dalam suasana ruangan kelas.
- Menjelaskan kasus-kasus perilaku siswa dengan menggunakan konsep-konsep seperti: penguatan kembali, penghukuman, generalisasi, diskriminasi, kejenuhan dan penghapusan (kepunahan).
- Menjelaskan pengaruh jadwal penguatan kembali perilaku siswa.
- Mengidentifikasi contoh model dan pengalaman belajar dalam situasi kelas.
- Menggambarkan karakteristik perilaku diri yang teratur dalam masyarakat.

Pandangan Behaviorisme Tentang Pembelajaran
Dari perpektif behaviorisme, belajar merupakan suatu perubahan mutlak secara relative dalam perilaku yang dapat diobservasi yang timbul sebagai hasil dari pengalaman (Mazur, 1994). Sebagai catatan bahwa defenisi ini mengkhususkan hanya pada perilaku yang diobservasi. Ahli behavioris memperoleh nama dengan berfokus pada kelakukan orang yang dapat dilihat. Hal ini tidak mempertimbangkan beberapa struktur eksternal, wawasan, proses atau kebutuhan-kebutuhan.
Kita mulai mempertimbangkan defenisi ini dengan catatan bahwa perubahan tingkah laku terjadi secara relatif. Kita semua dapat melihat atau mengalami perubahan pada masa lalu dari hasil dan ketegangan emosi atau luka. Perubahan seperti ini dapat disimpulkan sebagai “belajar”.
Perubahan kelakuan sebagai suatu hasil pendewasaan tidak akan disebut membawa tas besar yang saudara laki-lakinya lebih tua 6 tahun tidak dapat mengangkat benda itu.
Dia lebih baik dan kuat sebagai suatu kesimpulan dari pendewasaan.

1. Contiguity (Hubungan)
Bentuk pembelajaran yang timbul melalui hubungan, pemaduan secara sederhana antara stimulus (S) dan respon (R). Hubun Hubungan didasarkan pada prinsip bahwa jika dua sensasi muncul secara bersamaan, mereka menjadi terasosiasi (Leahey dan Harris, 1993).
Stimulus adalah seluruh penglihatan, bunyi, rasa dan pengaruh-pengaruh lain alat penginderaan yang diterima dari lingkungan. Respon adalah perilaku-[erilaku yang merupakan hasil dari asosiasi. Hubungan muncul di ruangan kelas jika stimulus dan respon dipadukan dan diulangi semacam kegiatan latihan pengulangan dengan kartu pengikat (yang diperlihatkan sebentar).

2. Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Sekalipun pasangan S-R dapat dipakai untuk menjelaskan pembelajaran dan perilaku sederhana, pembelajaran itu sangat kompleks. Contohnya, Tim yakin akan kecakapannya mengerjakan Aljabar II, namun ia merasa bingung dalam mengerjakan tes. Akibatnya, ia mengalami kegagalan karena gugup dan terlambat mengerjakan tes. Sebagai bukti ia berpuitar-putar pada masalahnya. Bagaimanapun juga, tes Aljabar yang sebelumnya tidak menyusahkan dia, tergabung dalam gagalnya dan membuatnya gugup, sebuah emosi yang menghubungkan rasa kepanikannya dengan kegagalan terhadap tes. Di sini terlihat adanya stimulus dan respon, tetapi pasangan S-R sederhana tidak mampu menjelaskan tingkah laku Tim. Ada sesuatu yanglebih kompleks yang perlu diperhatikan.

Teori Classical Conditioning Pavlov
Menurut sejarah, tipe pembelajaran ini dipopulerkan oleh Ivan Pavlov, seorang psikolog Rusia yang menerima Hadiah Nobel pada tahun 1904 karena hasil penelitiannya. Salah satu bagian dari penelitiannya, ia melakukan percobaan terhadap seekor ajing yang dimaksudkan untuk mengeluarkan air liur pada kondisi yang berbeda-beda. Awalnya pembantunya memberi makanan tambahan berupa daging halus yang menyebabkan anjing itu mengeluarkan liur. Akan tetapi pada penelitian lanjutan anjing itu tetap mengeluarkan air liur ketika pembantunya datang pada saat yang berbeda dan tidak membawakana daging kepadanya. Hasil penelitian Pavlov ini sangat mengejutkan dan membuka lapangan studi baru dan disebut classical conditioning “pembiasaan klasik” atau respondent learning karena pebelajar member respon terhadap lingkungan.
Sebuah contoh yang berhubungan dengan classical conditioning, ketika Tim gagal dalam tes, dia merasa terpukul, dia tidak dapat mengendalikan perasaannya (bimbang). Perasaannya tidak enak dan emosional, itulah sebuah respon yang tidak terkondisikan. Sebuah respon yang replektif tanpa sengaja membuatnya gagal mengerjalkan tes. Kegagalan itu adalah sebuah stimulus yang tidak terkondisikan, stimulus yang menghasilkan respon yang tidak terkondisikan. Dalam eksperimen Pavlov, stimulus yang tidak dikondisikan adalah daging halus yang megakibatkan keluarnya air liur sebagai psikolog yang tidak disengaja.

Karakteristik Classical Conditioning
a. Belajar (pembelajaran memerlukan tempat)
b. Respon menyangkut emosional psikolog dan tanpa disengaja dan di luar control kesadaran pebelajar.
c. Stimulus yang terkondisi atau tidak, dilakukan dengan berbagai cara sehingga menjadi terasosiasi.
d. Respon yang terkondisi atau tidak, boleh jadi identik atau mirip.

Classical Conditioning dalam Ruang Kelas
Ruang kelas sebagai contoh classical conditioning sebenarnya sudah umum/biasa. Misalnya, banyak siswa yang gelisah dalam tes. Hal ini tidaklah berarti tidak umum bagi beberapa anak-anak muda mengalami kesulitan secara fisik di sekolah dan beberapa orang tua enggan untuk mengerti fungsi sekolah atau merespon permintaan guru. Classical conditioning dapat membantu kita menjelaskan contoh tersebut. Selain itu dapat pula menjelaskan perasaan-perasaan positif, misalnya sebuah lagu yang mampu membangkitkan perasaan atau suasana hati.
Pemahaman classical conditioning dapat membantu kepekaan guru terhadap pentingnya suasana kelas dan bentuk asosiasi siswa mereka. Misalnya, pikiran siswa jika menemui kesulitan di sekolah atau kelas baru yang diperlakukan dengan kehangatan dan mendapat membantu perhatian yang cukup dari guru mereka. Hal itu akan memberikan kesan. Sebagai respon pebelajar dengan sendirinya untuk memperhatikan kehangatan yang sejati. Jika guru konsisten dalam sikapnya, para siswa nulai mnengasosiasikan sekolah dengan kehangatan guru. Sekolah mendatangkan perasaan menyenangkan dan aman bagi siswa. Kehangatan yang diperlihatkan guru merupakan stimulus yang tidak terkondisikan. Sekolah atau kelas yang mereka asosiasikan dengan kehangatan guru sebagai stimulus yang terkondisikan. Perasaan emosional mereka yang positif sebagai respon.

Generalisasi dan Diskriminasi
Generalisasi muncul bilama stimulus berhubungan/terkait dengan stimulus yang terkondisi serta mendatangkan respon yang terkondisi oleh dirinya sendiri. Misalnya, tim gugup ketika mengambil hasil tes aljabar II (gagal), dia juga gugup ketika mengambil hasil tes kimia (takut gagal). Dia selalu gugup jika mengerjakan tes pengetahuan yang bekaitan dengan aljabar.
Diskriminasi adalah kemampuan untuk memberikan respon-respon yang berbeda untuk dihubungkan tetapi bukan stimulus yang identik. Misalnya tim gugup selama tes Kimia tetapi tidak pada saat bahasa Inggris dan Sejarah. Contohnya dia memberdakan antara bahasa Inggris dan Matematika dengan respon-responnya yang berbeda.

Extinction (Penghapusan)
Dalam studi kasus tim, dia telah melakukan lebih baik semenjak ia beljar dengan Susan dan mengubah kebiasaan belajarnya. Suatu waktu jika ingin mencapai sukses, kegugupannya akan hilang, atau respon yang terkondisi akan hilang. Extinxction atau penghapusan ini terjadi bilamana rangsangan muncul berulang-ulang dalam ketidakadanya rangsangan yang tak terkondisi.
Dalam kasus tim, pengulangan pengambilan hasil tes tes merupakan stimulus yang terkondisi, tes yang tejadi tanpa kegagalan merupakan stimulus yang tidak terkondisi. Suastu saat nanti tidak ada hasil dalam kondisi yang menngelisahkan (respon yang terkondisi).
Penerapan Contiguity dan Classical Conditioning dalam Ruang Kelas
1. Keputusan yang hati-hati adalah salah satu bentuk pembelajaran untuk siswa yang akan memberi respon. Dengan memperbanyak pengulangan dan latihan akan mempertajam ingatan terhadap materi pelajaran.
2. Siapkan kondisi aman dan hangat dalam kelas yang bisa membangkitkan emosi positif belajar.
3. Ketika murid-murid bertanya, buatlah mereka dalam suatu keadaan yang menyenangkan untuk memastikan hal yang positif (puas).
4. Siapkan siswa dengan praktik dalam situasi yang berhubungan dengan keinginan yang potensial.

3. Operant Conditioning
Teori ini dipopulerkan oleh B.F. Skinner (1904-1990), seorang ahli psikologi tingkah laku yang menjadikannya pada pertengahan tahun 60-an menjadi orang yang sangat terkenal sebagai kepala bagian psikolog hingga akhir tahun 60-an. Hal ini juga membuatnya menjadi seorang psikolog yang berpengaruh di abad ke-20 (myers:1970). Skinner percaya bahwa respon-respon yang menuju ke stimuli khusus hanya dicatat pada proposi yang kecil dari semua perilaku-perilaku. Dia menyarankan bahwa tingkah laku lebih banyak dikontrol oleh akibat-akibat dari tindakan daripada oleh peristiwa-peristiwa yang melingkupi tindakan-tindakan. Konsekuensi itu merupakan outcome (stimulus) yang muncul setelah perilaku itu mempengaruhi perilaku yang akan datang. Contoh: pujian seorang guru setelah seorang siswa menjawab, itu adalah suatu konsekuensi.

Faktor-faktor berpengaruh terhadap pembelajaran di sekolah

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PROSES PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH


1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Pembelajaran Sosiologi di Sekolah

Proses pembelajaran sosiologi di sekolah pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang masing-masing bisa menjadi faktor pendukung dan dapat pula sebagai faktor penghambat. Berikut uraian tentang faktor-faktor yang dimaksud :
a. Siswa
Siswa atau dalam istilah lain disebut sebagai pebelajar atau peserta didik dalam proses pembelajaran dapat dianggap sebagai faktor pendukung dan juga sebagai faktor penghambat. Di bawah ini adalah tabel pembeda keadaan siswa sebagai faktor pendukung maupun sebagai faktor penghambat:
Uraian Sebagai Faktor Pendukung Sebagai Faktor Penghambat
- Peran aktif - Terwujud - Tidak terwujud
- Respon positif - Terwujud - Tidak terwujud
- Jumlah siswa - Sesuai standar - Tidak sesuai standar

Siswa dianggap sebagai faktor pendukung proses pembelajaran apabila siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Peran aktif yang dimaksud adalah kesediaan siswa mengikuti proses pembelajaran dengan baik dan benar serta memberikan respon positif terhadap materi pembelajaran yang dibahas, berusaha mencari tahu materi yang belum dipahami, dengan jalan menanyakan langsung kepada guru yang bersangkutan.
Siswa dapat dianggap sebagai faktor penghambat proses pembelajaran apabila siswa tidak serius mengikuti proses pembelajaran, serta menampakkan respon negatif terhadap setiap proses pembelajaran. Siswa lebih memilih bersikap apatis atau bermasa bodoh/acuh tak acuh terhadap materi yang dibahas walaupun mereka tidak paham dan hanya menerima begitu saja materi yang dibahas.
Selain itu, jumlah siswa yang tidak sesuai dengan ukuran kelas juga dapat menyebabkan proses pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan baik. Jumlah siswa yang banyak cenderung memancing terjadinya diskusi-diskusi kecil yang tidak penting dalam kelas antar sesama siswa, sehingga perhatian mereka tidak terkonsentrasi ke materi pelajaran. Kadang-kadang seorang guru sudah berusaha untuk mengelola kelas dengan baik, namun karena kuantitas siswa yang berlebihan dan tidak sesuai dengan standar menyebabkan suasana pembelajaran kurang kondusif.
Masih sering nampak pada sekolah lanjutan tingkat atas misalnya, yang jumlah siswanya dalam satu kelas itu melebihi kapasitas karena menampung siswa antara 40-50 orang, sementara standar pengelolaan sarana yang dikeluarkan oleh Depdiknas untuk sekolah lanjutan tingkat atas, ruang kelas belajar harus berukuran 8 x 9 meter dan diisi oleh siswa paling banyak 32 orang.
b. Guru
Peranan guru dalam setiap proses pembelajaran sosiologi dapat dianggap sebagai faktor pendukung, dan juga bisa sebagai faktor penghambat. Mengenai hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Uraian Sebagai Faktor Pendukung Sebagai Faktor Penghambat
- Kompetensi guru - Dimiliki - Tidak dimiliki
- Jumlah guru - Memadai - Tidak memadai

Guru dalam peranannya sebagai faktor yang berpengaruh dalam proses pembelajaran, dapat dianggap sebagai faktor pendukung apabila memiliki standar kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Guru yang memiliki kompetensi dapat dengan mudah menguasai dan megarahkan proses pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran untuk membentuk kompetensi siswa melalui materi pembelajaran dapat dilakukan. Demikian juga sebaliknya, guru yang tidak memiliki kompetensi akan kesulitan mencapai tujuan pembelajaran, yang berujung pada ketidakpahaman siswa terhadap materi pelajaran.
Nampak pula keberadaan guru sebagai faktor pendukung dalam hal ketersediaan jumlah guru dengan yang dibutuhkan. Artinya dalam setiap sekolah/satuan pendidikan yang membutuhkan guru sebanyak 30 orang, terpenuhi sesuai dengan jurusan atau mata pelajaran masing-masing. Dengan kata lain rasio guru yang ada sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak ada lagi guru yang mengajar mata pelajaran lain di luar jurusannya. Namun bila jumlah ini tidak sesuai dengan kebutuhan guru atau kurang dari yang dibutuhkan, maka cenderung akan melahirkan proses pembelajaran yang kurang kondusif, karena kemungkinan besar terjadi seorang guru yang mengajar di luar mata pelajaran yang ia kuasai.
c. Proses pembelajaran
Proses pembelajaran sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 tahun 2007 memiliki beberapa standar, yaitu perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengawasan. Perencanaan proses pembelajaran terdiri atas silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pelaksanaan terdiri atas kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik dan terprogram dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk lisan maupun tulisan. Sedangkan pengawasan dilakukan dalam bentuk pemantauan, supervise dan evaluasi oleh instansi pembina pendidikan. Kalau semua standar proses ini dapat dilakukan dengan baik dan benar, maka akan membentuk proses pembelajaran kondusif, yang berujung pada pencapaian kompetensi siswa. Begitu juga sebaliknya apabila tidak dilakukan dengan baik dan benar maka akan membentuk proses pembelajaran yang tidak kondusif sehingga pembentukan kompetensi siswa pun tidak dapat dilakukan.
d. Evaluasi pembelajaran
Evaluasi pembelajaran merupakan proses untuk menentukan nilai atau manfaat kegiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian atau pengukuran. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2007, sistem penilaian berkaitan dengan mekanisme, prosedur dan instrumen penilaian hasil belajar siswa, yang dapat dilakukan melalui beberapa teknik, seperti; tes, observasi maupun penugasan.
Kegaiatan evaluasi ini apabila dilakukan secara obyektif maka akan memberi peluang terjadinya proses pembelajaran yang baik dan benar serta merangsang siswa untuk belajar lebih giat. Keobyektifan dalam menilai akan memicu siswa mengevaluasi diri mereka sendiri secara sadar. Bagi mereka yang selalu belajar, rajin dengan tekun akan menikmati hasilnya dengan memperoleh nilai yang tinggi pula. Begitu juga bagi mereka yang kurang pintar pasti malas belajar dan akan menikmati pula kekurangan nilainya.
Namun apabila dilakukan secara subjektif maka akan membentuk proses pembelajaran yang tidak wajar, dan secara psikologis akan membentuk karakter anak yang pemalas. Karena mereka berprinsip “untuk apa belajar, walaupun belajar, benar semua jawaban dalam ulangan dan tidak menyontek , tidak ada bedanya dengan mereka yang tidak belajar dan selalu menyontek setiap ulangan.
Nilai yang diperoleh oleh siswa yang rajin dengan malas kadang-kadang tidak jauh beda. Mereka yang rajin karena tidak ada hubungan keluarga dengan guru bersangkutan, memperoleh nilai yang cukup walaupun seharusnya mendapat nilai tinggi, sebaliknya karena diantara siswa ada hubungan keluarga dengan guru bersangkutan mendapat nilai yang sedang walaupun seharusnya memperoleh nilai yang kurang. Tidak disadari hal inilah sebenarnya yang membentuk pola pendidikan tidak berkarakter yang menghambat proses pembelajaran dan pencapaian tujuan pendidikan.

2. Penilaian Reflektif (Gagasan) dalam Bentuk Rekomendasi Tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Pembelajaran Sosiologi di Sekolah

Sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran sosiologi seperti diuraikan pada poin 1 di atas, maka penulis memberikan rekomendasi kepada kepada:
a. Instansi pembina pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Kabupaten/kota), agar meningkatkan pemantauan, monitoring, supervisi ke satuan pendidikan guna mengetahui variabel-variabel yang menghambat proses pembelajaran, dan segera mengambil langkah-langkah yang dianggap dapat memenuhi kekurangan atau variabel penghambat tersebut.
b. Kepala Sekolah (kepala satuan pendidikan), untuk menciptakan suasana sekolah yang kondusif, dengan melakukan kegiatan akademik dan administrasi yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya serta menjadi teladan bagi guru dan siswa.
c. Guru, agar melakukan proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran sesuai dengan standar yang telah ditentukan secara profesional, transparan dan objektif serta memenuhi kompetensi guru yang telah ditentukan.
d. Siswa, agar mengikuti proses pembelajaran secara aktif dan benar serta mewujudkan proses pembelajaran kelas yang kondusif.

Minggu, 06 November 2011

Pelayanan Masyarakat

B. Konsep Dasar Pelayanan Masyarakat
1. Pengertian pelayanan masyarakat
Pelayanan masyarakat merupakan aspek pokok dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sebelum membahas tentang pelayanan masyarakat, penulis akan menguraikan terlebih dahulu mengenai istilah pelayanan dan masyarakat itu sendiri. Istilah pelayanan berasal dari kata “layan” yang artinya menolong, menyediakan segala apa yang diperlukan orang lain. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia istilah pelayanan diartikan sebagai : (1) perbuatan (cara, hal dan sebagainya), (2) servis, jasa, dan (3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.
H.A.S. Moenir (2000:17) menguraikan pengertian pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan manusia. Sedangkan proses itu sendiri adalah kegiatan manajemen dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sebagai kejelasan layanan dalam kenyataan sehari-hari dapat diberikan contoh sebagai berikut : Si A memerlukan surat keterangan jati diri sebagai pegawai di kantor X. Si B sebagai pertugas yang berwenang di perusahaan X membuat surat yang dimaksud oleh Si A. Apa yang dilakukan oleh Si B inilah yang disebut pelayanan.
Istilah masyarakat secara umum diartikan sebagai kumpulan manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pengertian ini relevan dengan pendapat Yandianto (2000 : 347) yang memberikan penergtian masyarakat sebagai sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Pengertian lain masyarakat dikemukakan oleh H.A.S. Moenir (2000:2), yaitu sekelompok orang yang terikat oleh kesamaan cita-cita, tujuan dan bekerja sama dalam pencapaian tujuan. Masyarakat juga diartikan sebagai sejumlah orang yang bersama-sama menjadi anggota suatu negara, yang harus dibina dan dilayani oleh administrasi publik setempat ( Inu Kencana Syafiie, 1999:19).
Istilah pelayanan dan masyarakat ini, jika disatukan akan membentuk istilah pelayanan masyarakat, yang secara sepintas mengandung pengertian tentang pemberian pelayanan kepada masyarakat, baik pelayanan jasa maupun meteri. Pelayanan masyarakat pada dasarnya merupakan suatu konsep yang memiliki dimensi dan ruang lingkup yang sangat luas.
Nicholay Henry (1988:22) mengemukakan bahwa sesungguhnya pelayanan masyarakat merupakan jiwa besar dari penyelenggaraan administrasi negara. Tanpa pelayanan masyarakat, maka sebetulnya seseorang yang menyelenggarakan tugas-tugas negara bukanlah penyelenggaraan pekerjaan administrasi Negara.
Aziz Sanapiah dalam jurnal Administrasi Negara (2000:33), membagi pengertian masyarakat terdiri atas dua, yaitu dalam arti luas dan arti sempit. Pelayanan masyarakat dalam arti luas diartikan sebagai keseluruhan proses penyelenggaraan kepentingan umum/masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menciptakan efisiensi, efektivitas, keadilan sosial dan kesejehteraan. Sedangkan dalam arti sempit, pelayanan masyarakat diartikan proses pelayanan tatap muka yang dilakukan oleh instansi pemerintah kepada masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Lingkup dan Azas-Azas Pelayanan Masyarakat
Lingkup pelayanan masyarakat menurut Aziz Sanapiah dalam Jurnal Administrasi Negara (2000:33), terdiri atas :
a. Suatu proses perumusan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat berupa pengaturan, perizinan, pengawasan, pembinaan baik yang dilakukan oleh pemerintah, BUMN, BUMD atau pun organisasi LSM karena mendapat kewenangan dari pemerintah.
b. Pelayanan dalam arti proses pelayanan yang berkaitan dengan tugas umum pemerintahan, termasuk tugas pelayanan yang dilakukan oleh BUMN/BUMD dan kegiatan pelayanan masyarakat yang diberikan wewenang oleh pemerintah kepada LSM.
Azas-azas pelayanan masyarakat menurut Aziz Sanapiah dalam Jurnal Administrasi Negara (2000:33), terdiri atas :.
a. Pelayanan yang berorientasi pada pasar, di mana permintaan langganan atau masyarakat bersama-sama dengan pelayanan yang dilakukan pihak lain.
b. Pelayanan yang semakin lama semakin meningkat, sedangkan permintaan masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Apalagi manakala birokrasi telahh memacunya untuk meningkatkan permintaannya, maka pelayanan yang diterapkan tidak boleh mundur.
c. Pelayanan harus dievaluasi, tidak saja keberhasilannya dakan tetapi juga kegagalan dari pelaksanaan sistem pelayanan yang diterapkan. Hasil dari pelaksanaan suatu pelayanan harus dapat diukur dan kalau gagal dapat dipelajari letak kesalahannya serta menjadi suatu pertimbangan di masa mendatang agar supaya kegagalan tidak terulang kembali.
d. Pelayanan yang kurang memperhatikan kedudukan konsumen/pengguna jasa pelayanan yang seharusnya ditemapatkan pada tempat yang strategis di tengah-tengah suatu system kegiatan pelayanan.
e. Pelayanan yang kurang memperhatikan hirarki nilai kepuasan masyarakat, sehingga nilainya berbeda.

C. Bentuk dan Sarana Pelayanan
Layanan yang diperlukan manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu layanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia dan layanan administratif yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi, baik organisasi massa atau organisasi negara. Secara naluriah hal ini dapat ditelusuri sejak manusia lahir ke dunia fanah ini. Sejak proses pembentukan janin dalam tubuh seseorang, ibu sudah melakukan fungsi pelayanan dalam bentuk kerja sama suami isteri.
H.A.S. Moenir (2000:17-18), mengatakan bahwa layanan umum bentuknya ada 3 macam, yaitu : a) layanan dengan lisan, b) layanan dengan tulisan dan c) layanan dengan perbuatan. Layanan dengan lisan dilakukan petugas-petugas di bidang Hubungan Masyarakat (Humas), bidang pelayanan informasi dan bidang-bidang lain yang tugas pokonya memberikan informasi, penjelasan atau keterangan-keterangan kepada siapapun yang memerlukan.
Layanan melalui tulisan merupakan bentuk pelayanan yang dilakukan dalam bentuk tulisan untuk melancarkan komunikasi terutama dalam memberikan pelayanan jarak jauh. Layanan perbuatan dilakukan oleh petugas-petugas menengah dan bawah, yang umumnya dilakukan dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan petugas.
Kegiatan pelayanan ini agar dapat berjalan dengan lancar, maka dibutukan suatu sarana pelayanan yang memadai. Sarana pelayanan adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja kerja dan fasilitas lain yang berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga berfungsi sosial dalam rangka kepentingan orang-orang yang sedang berhubungan dengan organisasi kerja.
Sarana pelayanan ini sangat penting keberadaannya, terutama dalam mendukuung hubungan antara pelayan dengan pihak dilayani. Sarana pelayanan ini mempunyai beberapa fungsi, seperti yang dikemukakan H.A.S. (Moenir:119) yaitu :
1. Mempercepat pelaksanaan suatu pekerjaan, sehingga dapat menghemat waktu.
2. Meningkatkan produktivitas pekerjaan, baik barang atau jasa.
3. Kualitas produk yang lebih baik/terjamin.
4. Ketepatan susunan dan stabilitas ukuran terjamin.
5. Lebih mudah/sederhana dalam gerak para pelakunya.
6. Menimbulkan perasaan puas pada orang-orang yang berkepentingan sehingga dapat mengurangi emosional mereka.
Sarana pelayanan ini lebih lanjut dikemukakan H.A.S. Moenir (2000:120) bahwa pada dasarnya akan lebih berarti bila dilengkapi sarana kerja dan fasilitas umum.
1. Sarana kerja
Suatu masyarakat maju dengan peralatan serba canggih, kegiatan dalam kehidupan manusia makin tergantung pada adanya peralatan, meskipun hanya sebahagian. Menyadari hal ini, maka sarana kerja yang ada harus senantiasa dipelihara sesuai dengan standar, prosedur dan metode serta dijaga kesiapgunannya. Faktor sarana ini merupakan salah satu penentu dan penunjang suatu organisasi dalam usaha melaksanakan program kerja untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sekaligus sebagai cerminan bentuk pengorganisasian dalam menjalankan suatu kekuasaan.
Sarana kerja ditinjau dari segi kegunaannya (utilization) terdiri atas 3 golongan, yaitu :
a. Peralatan kerja, yaitu semua jenis benda yang berfungsi untuk menghasilkan barang atau berfungsi memproses suatu arang menjadi barang lain yang berlainan fungsi dan gunanya.
b. Perlengkapan kerja, yaitu semua jenis benda yang berfungsi sebagai alat bantu tidak langsung dalam produksi, mempercepat proses, membangkitkan dan menambah kenyamanan dalam pekerjaan. Contoh perlengkapan komunikasi, pengolahan data dan administrasi.
c. Perlengkapan bantu atau fasilitas, yaitu semua jenis bend yang berfungsi membantuk kelancaran gerak dalam pekerjaan misalnya mesin lift, mesin pendingin ruangan, dan mesin pembangkit tenaga.
Peralatan kerja bila ditinjau dari segi peranannya terbagi atas dua jenis, yaitu :
a. Peralatan kerja tunggal-guna (single purpose equipment), yaitu peralatan yang dipakai untuk satu jenis peran saja, misalnya mesin tulis.
b. Peralatan kerja serba guna (multi purpose equipment), yaitu peralatan yang dapat dipakai untuk bermacam-macam peran, misalnya personal computer (PC).
2. Fasilitas Pelayanan
a. Fasilitas ruangan terdiri atas :
1) Pelayanan yang cukup aman dan tertib, seperti meja layanan dan loket yang cukup untuk penerimaan surat/berkas permohonan, penjualan karcis, penyetoran dan penerimaan uang, satu dan lain disesuaikan dengan jumlah orang yang harus dilayani rata-rata setiap hari kerja.
2) Informasi dilengkapi dengan berbagai bahan-bahan yang penting dan secara umum ingin dan bias diketahui oleh orang berkepentingan.
3) Tunggu, dilengkapi dengan penerangan yang cukup untuk dapat membaca, tempat duduk, meja kecil, asbak dan bak sampah.
4) Ibadah, terutama bagi mereka yang beragama Islam seperti Mushallah, agar sambil menunggu selesainya urusan, mereka dapat melaksanakan kewajiban sebagai umat Islam yaitu shalat Lohor dan Ashar.
5) Kamar-kamar kecil dilengkapi dengan sistem pelayanan yang baik, agar tidak menimbulkan bau tidak sedap dan tetap terjaga kebersihannya, sehingga masyarakar yang dilayani tidak merasa terganggu dengan bau tidak sedap.
6) Kantin murah, selain untuk keperluan pegawai juga melayani orang-orang yang sedang menunggu. Setidak-tidaknya di ruangan tunggu disediakan fasilitas tertentu seperti minuman air putih.
b. Telepon Umum
Fasilitas ini sangat membantu orang-orang yang sedang dalam keperluan mendesak melakukan komunikasi dengan keluarga atau teman. Lokasi telepon umum ini hendaknya tidak terlalu jauh dengan ruang tunggu pelanggan dan masih dalam lingkungan halaman kerja yang bersangkutan.
c. Alat panggil
Fasilitas ini perlu terutama untuk ruang tunggu yang luas dan banyak memiliki loket dan pintu (gate). Mengingat diantara orang-orang tersebut ada yang tidak dapat membaca tetapi dapat mendengar, dan ada pula yang sebaliknya dapat membaca tetapi dia tidak mendengar.

D. Kemampuan Pegawai, Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Masyarakat
Faktor determinan dalam pelayanan masyarakat adalah unsur manusia, yaitu pegawai yang melayani. Miftah Thoha (1993:42) menegaskan bahwa kemampuan pegawai selaku aparatur pemerintah sangat menentukan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, setiap pegawai senantiasa dituntut untuk memiliki sikap dan perilaku melayani dengan berorientasi kepada pelayanan berkualitas supaya tercipta kepuasan masyarakat.
Pengertian di atas sangatlah jelas bahwa pelayanan yang berkualitas adalah kunci keberhasilan dalam berbagai usaha, baik di organisasi pemerintahan maupun dalam organisasi swasta. Pelayanan adalah merupakan salah satu faktor yang banyak mendapat perhatian dari semua unsur pemerintahan khususnya yang berhubungan dengan masyarakat dalam memberikan pelayanannya.
Pengelolaan pelayanan harus aktif dan dinamis karena yang menjadi sasaran adalah manusia baik secara perorangan maupun kelompok dalam bentuk badan atau organisasi. Oleh karena itu pelayanan yang diberikan harus berkualitas dan memungkinkan tugas atau pekerjaan berjalan lancar dan dapar menghasilkan suatu pelayanan yang efektif serta diharapkan dapat memberikan kepuasan terhadap pihak yang dilayani, namun untuk mewujudkan hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai aspek.
Salusu (1996 :39), mengemukakan pelayanan berkualitas pada prinsipnya adalah layanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung unsur kesalahan, mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Proses dan prosedur itulah yang harus disusun secara rapi dan teliti, disertai semua perangkat yng dituntut dalam proses itu. Prosedur itu harus diperinci, dan harus diikiuti, baik oleh yang melayani maupun oleh yang dilayani. Jadi layanan yang berkualitas adalah layanan yang tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga yang ingin mendapat kepuasan.
Gaspersz dalam Sugiyanti (1999:12) menyatakan bahwa pada dasarnya pelayanan sistem kualitas modern mempunyai ciri yang nampak pada berbagai karakteristik, yang terdiri atas :
1. Sistem kualitas modern berorientasi pada pelanggan
Produk-produk didesain sesuai dengan keinginan-keinginan pelanggan melalui suatu riset pasar, kemudian diproduksi dengan cara-cara yang baik dan benar sehingga produk yang dihasilkan memenuhi spesifikasi desain (memiliki konformasi yang tinggi), serta pada akhirnya memberikan sistem dan prosedur pelayanan purna jual kepada semua lapisan masyarakat selaku pelanggan.
2. Sistem kualitas modern dicirikan oleh adanya partisipasi aktif yang dipimpin oleh manajemen puncak (top management) dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus.
3. Sistem kualitas modern dicirikan oleh adanya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab spesifik untuk kualitas.
4. Sistem kualitas modern dicirikan oleh adanya aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja.
5. Sistem kualitas modern dicirikan oleh adanya suatu filosofi yang menganggap bahwa kualitas merupakan jalan hidup.
Sugiyanti (1999:38) mengatakan bahwa pada dasarnya sistem kualitas modern dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu :
1. Kualitas desain. Pada dasarnya kualitas ini mengacu pada aktivitas yang menjamin bahwa produk baru, atau produk yang dimodifikasi, didesain sedemikian rupa untuk memenuhi keinginan dan harapan pelanggan, serta secara ekonomis layak untuk diproduksi atau dikerjakan.
2. Kualitas konformasi mengacu pada pembuatan produk atau pemberian jasa pelayanan yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya.
3. Kualitas pemasaran dan pelayanan purna jual berkaitan dengan tingkat sejauh mana dalam menggunakan produk itu memenuhi ketentuan-ketentuan dasar tentang pemasaran, pemeliharaan dan pelayanan purna jual.
Salusu (1996:40) mengemukakan bahwa dalam menciptakan pelayanan yang berkualitas ada beberapa prinsip perlu diperhatikan, yaitu :
1. Sebelum dimulai, maka proses dan prosedur harus ditetapkan dari awal.
2. Proses dan prosedur itu harus diketahui oleh semua pihak yang terlibat, dan harus jelas dan tegas dan tidak menimbulkan interpretasi ganda.
3. Kualitas muncul dari orang-orang yang bekerja mengikuti suatu sistem, satu mata rantai, yang akhirnya membuahkan hasil.
4. Peninjauan kualitas oleh para eksekutif, perlu dilakukan secara periodik dalam arti perlu diadakan penyempurnaan prosedur jika dipandang perlu dengan memperhatikan selera pihak yang dilayani.
5. Kualitas pelayanan dapat dicapai hanya apabila para pemimpin organisasi suatu iklim budaya organisasi yang memusatkan perhatian secara konsisten pada peningkatan kualitas dan kemudian penyempurnaan secara berkala.
6. Kualitas memegang teguh prinsip mencegah, artinya setiap orang hendaknya berusaha mencegah jangan sampai terjadi kesalahan dalam melaksanakan tugasnya.
7. Kualitas berarti memenuhi segala keinginan, kebutuhan dan selera pelanggan/konsumen.
8. Kualitas menuntut kerja sama yang erat. Setiap orang dalam organisasi hendaknya memandang orang lain sebagai bagian dari penentu berhasilnya ia melaksanakan tugas kewajibannya.
9. Kualitas membutuhkan program pelatihan yang berkelanjutan, termasuk perubahan dalam proses kerja.
Aparatur pemerintah yang mendapatkan kepercayaan untuk melayani masyarakat baik secara langsung, maupun tidak langsung perlu menyadari bahwa dirinya dituntut untuk memahami sosok birokrat/aparat pelayan yang dapat memberikan pelayanan prima dengan ciri-ciri seperti diuraikan oleh (Sugiyanti, 1999:35), yaitu :
1. Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi.
2. Dapat mengembangkan fungsi instrumental dengan melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif.
3. Berwawasan futuris dan sistimatik sehingga resiko yang bakal timbul akan diminimalisir.
4. Mempunyai kemampuan dalam mengoptimalkan berbagai sumber daya yang potensial.
Usaha memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pihak dilayani hendaknya aparat pelayanan memahami variabel-variabel pelayanan prima yang terdapat dalam agenda perilaku pelayanan prima sektor publik SESPANAS-LAN (1998:35), yaitu :
1. Pemerintahan yang bertugas melayani.
2. Masyarakat yang dilayani pemerntah.
3. Kebijaksanaan yang dijadikan landasan pelayanan publik.
4. Peralatan atau sarana pelayanan yang canggih.
5. Resources yang tersedia untuk diracik dalam bentuk kegiatan pelayanan.
6. Kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan standar dan asas-asas pelayanan.
7. Manajemen dan kepemimpinan serta organisasi-organisasi pelayanan masyarakat.
8. Perilaku yang terlibat dalam pelayanan masyarakat (pejabat dan masyarakat) harus melaksanakan fungsi masing-masing.
Pelaksana pelayanan dapat dibedakan menjadi dua badan, yaitu badan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan fungsi layanan dan pelaku layanan. Penanggung jawab fungsi layanan umum di Negara Republik Indonesia adalah pemerintah, selaku badan eksekutif yang menjalankan pemerintahan sehari-hari, berlandaskan UUD 1945 beserta peraturan-peraturan yang berlaku, dan secara garis besar semua sektor kegiatan yang menyangkut kehidupan orang, baik secara individu maupun orang banyak adalah tanggung jawab pemerintah.
Pelaku layanan umum adalah pegawai pemerntahan, baik pegawai pemerintah maupun pegawai BUMN/BUMD. Sejalan dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan keleluasaan kepada badan-badan hukum lain ikut menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang ekonomi, sosial dan budaya, maka pegawai dan karyawaan dari badan-badan hukum tersebut juga menjadi pelaku tugas layanan umum. Dengan demikian pelaku layanan umum bukan hanya pegawai negeri, tetapi juga karyawan BUMN/BUMD, Pemerintah Daerah kabupaten dan kota, Pegawai karyawan Badan Hukum, perusahaan-perusahaan swasta, baik yang produknya berupa jasa maupun barang.
Tjiptono (1997:14) mengemukakan bahwa terdapat tiga tingkatan harapan pelanggan mengenai kualitas pelayanan, yaitu :
1. Harapan pelanggan yang paling sederhana dan berbentuk asumsi must have atau take it for granted.
2. Kepuasan pelanggan dicerminkan dalam pemenuhan persyaratan atau spesifikasi.
3. Pelanggan menuntut suatu kesenangan atau jasa bagunsya sehingga membuat tertarik pelanggan.
H.A.S. Moenir (2000:196), mengemukakan sasaran pelayanan adalah kepuasan pelanggan/pihak dilayani. Agar masyarakat dapat merasakan kepuasan pelayanan, maka pegawai pemberi layanan harus melakukan komponen layanan sepenuh hati seperti yang dikemukakan Patricia Patton dalam Sugiyanti (1999 : 56-57), yaitu :
1. Memahami Emosi-emosi Kita.
Memang tidak mudah memahami emosi-emosi kita, apalagi kalau yang kita bayangkan apabila telah diperhadapkan dengan konsumen yang beragam di dalam pasar global yang penuh persaingan, tanpa mengetahui bagaimana menangani strees, ketakutan, kemarahan, frustasi serta emosi-emosi produktif yang telah kita kembangkan.
Kita masing-masing mempunyai temperamen dasar yang ditentukan oleh suasana hati kita. Untuk itu maka perlu dihayati bahwa pelayanan sepenuh hati, kunci keberhasilannya adalah memahami penyebab-penyebab pemicu emosi-emosi kita, mampu mengenali dan menandainya serta mengungkapkan perasaan-perasaan dengan tepat.
2. Kompetensi.
Layanan sepenuh hati memerlukan kepercayaan diri yang besar dalam rangka mendekati para konsumen yang dapat menghasilkan keyakinan bahwa kita mampun menangani berbagai situasi-situasi yang berdampak terhadap hubungan dengan pelanggan.
3. Mengelola Emosi-emosi Kita.
Salah satu keterampilan paling penting di dalam kehidupan ini adalah menjadi diri sendiri, namun pada saat yang sama mampu mengontrol diri sendiri, sehingga membatasi kemampuan untuk menunjukkan siapa kita yang sebenarnya. Selain itu juga dapat membatasi kemampuan kita untuk bersama-sama dalam merasakan perasaan, atau kita tidak mampu mengontrol emosi-emosi yang dapat menimbulkan tindakan-tindakan agresif dan tidak efektif.
4. Bersifat Kreatif dan Memotivasi Diri Sendiri
Layanan setengah hati berasal dari dalam diri sendiri, maka perasaan dapat berfungsi sebagai pendorong untuk menyesuaikan emosi-emosi kita dengan emosi-emosi orang lain, sehingga dapat menangani situasi-situasi sulit. Seandainya kita memahami apa yang menganggu orang lain dan mengerti bagaimana perasaan mereka pada suatu permasalahan, dengan bekal kreatifitas, maka kita akan mudah menemukan penyelesaian yang positif.
5. Menyelaraskan Emosi-emosi Orang Lain
Sering kali kita merasa yakin bisa memperlakukan orang lain seperti halnya jadwal kerja kita sehari-hari meletakkan segala sesuatu di sini, mengadakan janji di sana dan mengubah berbagai agenda pertemuan semau kita. Sesungguhnya manusia lebih kompleks dan hampir semua kasus-kasus mereka memerlukan lebih banyak pertimbangan-pertimbangan dari yang seharusnya diberikan.
Sugiyanti (1999:46) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan atau pihak yang mendapatkan pelayanan sangat tergantung pada persepsi dan ekspektasi mereka. Oleh karena itu sebagai pemasok produk barang maupun jasa perlu mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, yaitu:
1. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan pelanggan ketika ia sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen.
2. Pengalaman masa lalu ketika mengkomsumsi produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingannya.
3. Pengalaman dari teman-teman yang menceritakan kualitas produk yang akan dibeli pelanggan itu.
4. Komunikasi melalaui iklan dan pemasaran mempengaruhi persepsi pelanggan.
Sistem pelayanan yang berfokus pada pelanggan mempunyai beberapa keunggulan seperti yang dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1999:209), yaitu :
1. Memaksa pemberi jasa untuk dapat bertanggung jawab kepada semua pelanggannya.
2. Mendepolitisasi keputusan terhdap pilihan pemberi jasa.
3. Merangsang lebih banyak inovasi.
4. Memberi kesempatan kepada orang untuk memilih salah satu dari berbagai macam pelayanan.
5. Pemborosannya lebih sedikit, karena pasokannya disesuaikan dengan permintaan.
6. Mendorong pelanggan untuk membuat pilihan dan mendorong untuk menjadi pelanggan yang berkomitmen.
Pelayanan yang mengutanakan kepuasan pelanggan dianggap berkualitas bila dilaksanakan dengan baik, karena pelayanan yang baik juga merupakan suatu dambaan bagi setiap orang baik itu pihak perusahaan maupun pihak konsumen/pelanggan, sehingga dalam hal meningkatkan produksi dan jumlah penjualan dipelukan adanya pelayanan yang baik bagi setiap perusahaan agar dapat bersaing dengan perusahaan yang lain dalam menawarkan barang dan jasa yang akan dijualnya. Mengenai pelayaan yang baik selanjutnya akan diuraikan beberapa pendapat pakar seperti di bawah ini.
Pelayanan yang baik adalah perbuatan melayani, cepat dan memuaskan kepada pihak yang membutuhkannya. Berdasarkan pengertian di atas, penulis mengasumsikan bahwa pelayanan yang baik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk menolong orang lain agar dapat terpenuhi kebutuhan dan kekurangannya atau suatu perbuatan yang diberikan oleh pegawai pemberi layanan untuk melayani kepentingan perorangan atau kelompok yang hidup bersama-sama dalam suatu tempat yang terkait dalam aturan tertentu dengan cepat dan memuaskan.
H.A.S. Moenir (2000 : 25) mengemukakan ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi sistem pelayanan umum yang menentukan kepuasan pelanggan, yaitu :
1. Sistem, prosedur dan metode.
2. Personil, terutama ditekankan pada perilaku aparatur.
3. Sarana dan prasarana.
4. Masyarakat sebagai pelanggan.